Tales of the Gedong Gulo


Oleh: Bram Luska

Beberapa tahun lalu ketika melintas di jalan Inspeksi tanpa sengaja pandangan saya teralih pada sebuah bekas reruntuhan yang letaknya tepat berada di tengah aliran kali Semarang. Karena penasaran saya bertanya pada beberapa narasumber dan munculah nama “Gedong Gulo”. Apa yang ada dibenak saya ketika mendengar nama tersebut langsung merujuk pada daerah di pinggir kali Semarang yang saat ini masuk dalam wilayah kelurahan Jagalan.

Tahukah anda bahwa Gedong Gulo ini dahulu adalah tempat tinggal serta kamar dagang milik seorang kaya raya dari Semarang. Mungkin sebagian dari kita ada yang mengira bahwa tempat ini adalah milik Sugar Baron Oei Tiong Ham, ternyata jauh sebelum Sang Konglomerat Asia Tenggara itu lahir, sudah ada kisah tentang orang paling berpengaruh di Patjinan Semarang serta pebisnis handal yang namanya begitu tersohor sepanjang pantai utara Jawa di masa peralihan kekuasaan dari pemerintah Inggris ke Oolanda (Belanda) yaitu Tan Tiang Tjhing.

Karena rasa penasaran saya coba menelusuri jejak sejarahnya, meski kenyataannya memang tak mudah, butuh hampir 1 tahun untuk bisa mengurai kisahnya, penelusuran saya mulai dari klenteng Wie Hwie Kiong bersama para sahabat funerary heritage om Qinglong dan om Pippo Agosto , lalu ke salah satu keturunan keluarga Tan Gedong Gulo, hingga akhrinya saya bisa menemui salah satu penghuni terakhir dari Gedong Gulo. Sejarah panjang Gedong Gulo ini tidak bisa lepas dari keberadaan marga Tan yang sudah ada di Patjinan sejak abad 18.

Kisah tentang Gedong Gulo ini bermula dari seorang pedagang bermarga Tan yang sekitar abad 18 sudah berada di Semarang yang lebih dikenal sebagai Djoeragan Bing, memiliki nama asli Tan Bing (1742-1810), Tn.Tan Bing ini mendarat ke Semarang dengan tangan kosong, memulai usahanya sebagai pedagang kecil, berkat kepandaiannya berdagang didukung keuletan serta hidup hemat, akhirnya dia bisa mengumpulkan sedikit uang untuk terus mengembangkan usahanya yang semula hanya pedagang keliling lalu membuka sebuah warung, setelah membuka warung di Patjinan usahanya makin maju, hingga akirnya bisa membeli pacht(cukai) hutan yang pada akirnya membawa banyak keuntungan. 

Karena merasa kewalahan menjalankan bisnisnya tn.Tan Bing merasa harus memanggil putranya, Tan Tiang Tjhing dari Tiongkok untuk membantunya. Dari kerja keras ayah dan anak ini akhirnya di bukalah juga penggilingan tebu di daerah Penggilingan yang berada di sebelah barat perbukitan Simongan, dari usaha penggilingan tebu yang kemudian di olah menjadi gula dan di kirim ke Kendal, Salatiga, Demak, Magelang bahkan sampai Jogja. Usaha produksi klan Tan ini semakin berkembang dan maju menguasai pasar gula di kawasan Jawa bagian Tengah. Gula pada masa itu merupakan barang yang cukup penting dan termasuk barang tersier yang banyak dikonsumsi oleh kalangan masyarakat kelas menengah atas.

Menurut sumber dari buku Riwajat Semarang yang berdasar pada catatan Kong Koan Semarang, menyatakan bahwa Tan Tiang Tjhing merupakan peranakan karena dilahirkan di Semarang , baru ketika sudah beranjak dewasa beliau di kirim oleh orang tuanya untuk belajar ke Tiongkok. Pada tahun 1811 terjadi perang besar di Jawa yang melibatkan kekaisaran Perancis, di bawah Napoleon Bonaparte melawan armada Inggris. Tak hanya berkecamuk di daratan Eropa saja, perang besar ini sampai ke berbagai wilayah jajahan kedua raksasa Eropa tersebut, hingga akhirnya tanah Jawa terkena imbasnya, bahkan menjadi sebuah bagian dari pertempuran penting yaitu battle of Java. Ketika itu Nusantara yang sudah dikuasai oleh Belanda terpaksa harus tunduk kepada Perancis karena Negeri Belanda menjadi jajahan Perancis di bawah kekuasaan Napoleon Bonaparte.

Ketika terjadi Perang di Jawa, kekacauan melanda hampir seluruh wilayah tak terkecuali Semarang. Banyak penduduk Semarang dan sekitarnya mengungsi karena ketakutan. Hal itu tidak membuat gentar Tuan Tan Tiang Tjhing, setelah mengungsikan orang tua dan keluarganya dia tidak ikut mengungsi, melainkan tetap bertahan di Patjinan Semarang, mengutip perkataan Khong Bing ” Bouw Soe Tjay Djien,Sing Soe Tjay Thian” (Daya upaya ada pada manusia, tetapi hidup mati terserah pada Allah) perkataan ini diucapkan Khong Bing manakala akan membakar Suma Yi di How Low kok. Tempo itu Tn.Tan Bing atau yang sering di sebut Djoeragan Bing wafat dan di kebumikan di daerah Mritjan. Sepeninggal beliau hampir semua usaha dan juga patch yang telah ada di lanjutkan oleh putranya Tan Tiang Tjhing.

Pada bulan september tahun 1811, melalui kapitulasi Tuntang akhirnya Jawa dan seluruh Nusantara jatuh ke tangan bala tentara Inggris, yang oleh orang Tionghoa disebut Sè Mow Ong atau Raja berbulu dari Barat, karena di muka dan tangan mereka tumbuh banyak bulu kasar. Karena keuletan dan kepandaian bergaul serta membawa diri di kalangan sahabat dan juga pejabat Militer Inggris, Tan Tiang Tjhing, putera Djoeragan Bing akirnya diangkat oleh resident Inggris sebagai Officer der Chinezen te Semarang. Namun menurut pay yang masih tersimpan di klenteng Tan Seng Ong, tertulis 1809, dari beberapa penuturan orang di jamannya mengatakan bahwa sebelum Jawa jatuh ke Inggris, Tan Tiang Tjhing telah diangkat sebagai officer , hal ini karena Djoeragan Bing mendapat nama baik di mata pemerintah Belanda , maka takkala ada lowongan officer Tan Tiang Tjhing di angkat menjadi Luitenant, sampai kini pay itu masih tersimpan baik di Klenteng Tan Seng Ong Semarang.

Pada tahun 1811 Tan Tiang Tjhing diangkat menjadi Majoor der Chinezen Semarang yang pertama. Selama menjabat sebagai Majoor der Chinezen banyak hal yang di kerjakan untuk kepentingan masyarakat Tionghoa di Patjinan. Setelah menjabat sebagai officer bisnis keluarga Tan semakin berkembang dengan dipercayakannya beberapa pacht (cukai) kepada Tan Tiang Tjhing, hal itu karena pemerintah melihat kinerja bagus dari tuan ini. Tahun 1814 di tangan marga Tan, kejayaan Gedong Gulo semakin berkibar. Maka sebagai ucapan syukur Tan Tiang Tjhing yang kala itu sudah menjabat sebagai Majoor der Chinezen pertama Semarang membangun sebuah rumah ibadah ( bio) dengan nama Wie Hwie Kiong, yang menandai juga berdirinya klenteng khusus marga Tan, setelah sebelumnya ada klenteng Tek Hay Bio yang di bangun di sebelah utata , yang juga di khususkan untuk marga Kwee/Kwik/Guo. Di klenteng Wie Hwie Kiong inilah sampai sekarang papan pay milik Tan Tiang Tjhing masih di simpan. Di dalamnya juga terdapat sinci atau papan arwah milik marga Tan Semarang disimpan.

Pada Tahun 1815 dibangunlah sebuah gedung megah di bantaran kali Semarang yang ada di bilangan Patjinan Semarang sebelah kulon, gedung yang sangat luas ini pada awalnya berfungsi sebagai kantor dagang serta gudang untuk menyimpan gula hasil produksi sebelum dipasarkan. Dengan berjalannya waktu keluarga Tan Tiang Tjhing menetap di gedung tersebut, dan sejak itu masyarkat menamainya Gedong Gulo. Pada masa jabatannya sebagai Majoor terjadi sebuah peristiwa besar di pulau Jawa yaitu Geger Diponegoro atau yang lebih dikenal dengan Perang Jawa (1825-1830). Ketika itu banyak tindak kekerasan yang dialami masyarakat Tionghoa. Perampokan , penjarahan dan pembunuhan terhadap orang Tionghoa karena sterotip antek Belanda. Demi menjaga keamanan warga Patjinan Semarang Tan Tiang Tjhing memerintahkan pembangunan gerbang di beberapa penjuru Patjinan, serta menyewa para jagoan untuk menjaga gerbang tersebut.

Satu kejadian yang tercatat dalam Kong Koan Semarang adalah manakala tersebar isu bahwa para berandalan akan menyerang Semarang. Maka Tan Tiang Tjhing mengumpulkan semua pemuda dan jagoan Patjinan untuk memerangi para penjahat yang akan mengacau kota Semarang. Mendengar gerakan masyarakat TionTion, komunitas Koja Semarang yang bertetangga dengan Patjinan Semarang lalu dengan sukarela bergabung untuk ikut memerangi para berandalan tersebut. Dari pagi gabungan kelompok Tionghoa-Koja sudah bersiap menghalau di daerah Wates (sekarang Tenggang) namun hingga petang tidak ada gerakan sama sekali maka akhirnya mereka kembali ke kota.

Pada awal abad 19 melihat semakin ramainya daerah Ambengan, Majoor Tan Tiang Tjhing yang kebetulan juga pegang patch pasar, membuat sebuah pasar di bilangan Ambengan – tepat di mulut jalan Kebon Tjina (sekarang jl.Sidorejo). Pada tahun 1928 pasar Ambengan ini di pindahkan ke daerah Mlaten atau yang sekarang lebih dikenal dengan nama Pasar Dargo oleh Gementee. Di Patjinan tn.Tan Tiang Tjhing memperbaiki kali dan jalan yang ada di lor Gedong Gulo, sehingga Gedong Gulo pada tempo dulu sering disebut Hok Khee oleh masyarakat Patjinan dan sekitarnya, yang diambil dari perkataan Hok Goan Khee yang berarti jalan/ kalinya Tuan Hok Goan. Hok Goan adalah merk Tuan Tan Tiang Tjhing ketika menjadi Kapiteins der Chinezen.

Salah satu perbuatan mulia Tan Tiang Tjhing adalah ketika membeli sebidang tanah di Mritjan yang di peruntukan sebagai area perkuburan bagi kaum Tionghoa yang kurang mampu , karena pada masa itu mereka yang kurang mampu sering kesulitan mencari perkuburan untuk sanak familinya yang sudah meninggal. Setelah memangku jabatan selama hampir 30 tahun akhirnya ini Majoor pertama Semarang harus berpulang pada tahun 1833 dan di kebumikan di daerah Mritjan.

Sepeninggal Tan Tiang Tjhing, Gedong Gulo di pegang oleh putranya Tan Hong Yan, bisa dibilang pamor Gedong Gulo mencapai puncak kejayaannya. Seperti ayahnya, Tan Hong Yan juga memangku jabatan Majoor der Chinezen. Pada masa jabatannya banyak kebijakan yang di buat olehnya untuk makin memajukan Patjinan Semarang. Ketika terjadi wabah tahun 1830 tn.Tan Hong Yan ambil tindakan dengan mendirikan rumah obat bagi siapa saja yan butuh pertolongan. Karena pada jaman itu orang belum mengenal kedokteran maka penyakit itu di lawan dengam obat tradisional dan mulai membenahi sanitasi di Patjinan Semarang yang tempo itu sudah terlalu kotor.

Pada tahun 1835 untuk pertama kalinya tn.Tan Hong Yan melayani semua keperluan yang disampaikan masyarakat Tiongho di Gedong Gulo, jadi bisa dikatakan dari Gedong Gulo inilah permulaan Kong Koan Semarang. Sebelum akhirnya dipindahkan bersamaan dengan didirikannya Tjie Lam Tjay di sebidang tanah di Gg.Lombok, peristiwa itu terjadi tahun 1837. Pada tahun 1847 manakala jumlah masyarakat Tionghoa semakin banyak, maka tn.Tan Hong Yan atas usulan dari pihak Boedelkamer membuat sebuah rumah sakit yang pertama bagi orang Tionghoa yang terletak di daerah Sompok. Mengingat tempo itu daerah Sompok masih asri dan hawanya sejuk jadi baik sekali untuk merawat orang yang sakit. Ketika itu untuk semakin menguatkan hegemoni bisnis keluarga Gedong Gulo, Tan Hong Yan menjodohkan putrinya Tan Tjhiang Nio dengan putera Majoor Kebon Dalem Be Ing Tjoe yang bernama Be Biauw Tjoan, dan kelak bisnis kedua keluarga ini mencapai masa jayanya, dengan menguasai pasar opium di Jawa selama beberapa dekade.

Gedong Gulo di masa Tan Hong Yan bak sebuah istana megah dengan julukan Se Wan atau Kebon sebelah Barat. Bangunan gazebo dan sebuah kebon karang yang sangat indah akan mempesona siapapun yang melihatnya. Pada tahun 1841 Be Ing Tjoe yang diangkat sebagai Majoor titulair Bagelan (Purworejo) selesai membangun sebuah istana megah di sebalah timur, yang disebut Tong Wan atau Taman sebelah Timur. Hingga pada suatu waktu ada sebuah ungkapan untuk memuji betapa indahnya Patjinan Semarang pada masa itu “See Wan tjay tjioe, Tong Wan tjoey”, yang artinya kurang lebih bawa arak dari Kebon Barat, akhirnya mabuk di Kebon Timur. Satu hal yang tidak boleh terlupakan adalah kedua besan ini juga turut serta dalam usaha perbaikan Klenteng Tay Kak Sie.

Tahun 1851 Majoor Tan Hong Yan meninggal dunia, ini majoor meninggalkan nama yang baik bagi masyarakatnya. Jenazah itu majoor dikebumikan di Gn.Tjandi. Sepeninggalnya Gedong Gulo dipegang oleh putranya Tan Tjong Hoay, yang pada 1860 ketika di angkat jadi Majoor Semarang beliau memesan sebuah rupang Poo Sing Tay Tee ( dewa obat) langsung dari Tiongkok. Manakala patung ini sampai di Boom dari Tiongkok, pada hari itu diadakan sebuah upacara arak-arakan yang sangat meriah dari nge-Boom berjalan mengitari Patjinan dan masuk ke klenteng Tay Kak Sie, hingga kini prosesi arak-arakan ini sering di sebut Sam Poo Tjilik.

Tahun 1872 setelah beberapa lama mendapat pacht opium, tn.Tan Tjong Hoay yang itu tempo telah pegang itu pacht opium harus menderita kerugian yang sangat besar hingga harus melelang Gedong Gulo untuk dapat menutup kerugiannya tersebut. Gedong Gulo yang termasyhur saat itu keadaannya sudah mulai terbengkalai dan kurang terawat dengen baik, taman indahnya sudah tidak terawat lagi, dan banyak bagiannya yang sudah dipecah menjadi percel. Sedang Kebon Karang yang dahulu masyhur dengan nama Se Wan diratakan untuk menjadi rumah petak. Setelah peristiwa itu Tan Tjong Hoay mundur sebagai Majoor der Chinezen Semarang. Dengan mundurnya Tan Tjong Hoay serta lepasnya Gedong Gulo menandai berakhirnya hegemoni keluarga Tan di Semarang yang sudah berlangsung selama hampir 3 generasi ini.

Setelah era keluarga Tan, babak baru Gedong Gulo dimulai ketika kepemilikannya dipegang oleh keluarga Sie, Sie Sien Kie menantu dari Tan Tjong Hoay, yang merupakan anak officer der Chinezen Demak, Sie Cien Long. Gedong Gulo yang dahulu adalah sebuah istana megah lambat laun mulai redup, beberapa bagiannya sudah berubah fungsi menjadi percel. Menurut cerita salah satu penghuni terakhirnya, bp.Gautama Setiadi ( Sie Hwan Swie) walau sudah tidak menjadi kantor dagang namun keindahan dan kemegahannya masih dapat terlihat dan dirasakan.

Gedong Gulo di era tahun 70an pernah menjadi tempat berlatihnya salah satu keturunan dari Sie Sien Kie, yaitu Sie Hwan Bie yang tak lain adalah salah satu murid legenda kungfu Semarang suhu Khong A Djong. Gedong Gulo menjadi tempat perlindungan bagi warga Patjinan manakala terjadi kerusuhan rasial di era tahun 1980an. Di ceritakan oleh pak Setiadji banyak mobil warga Patjinan yang diamankan ke dalam Gedong Gulo untuk menghindari perusakan dan pembakaran. Hingga akhirnya salah satu bangunan ikonik Patjinan di masanya ini benar-benar hilang pada dekade 80an akhir, manakala Gedong Gulo sudah rata dan dijadikan beberapa ruko.

Seperti judul sebuah lagu mandarin ” Jiu Meng Bu Shun Ji” yang kurang lebih berarti sebuah mimpi indah yang tidak dapat dilupakan , Gedong Gulo akan selalu dikenang kemegahan dan keindahannya serta segala cerita yang mendampingi perjalanannya. Namun seindah apapun sebuah mimpi pada akhirnya akan berakhir, begitu pula kejayaan Gedong Gulo yang dulu sangat termasyhur harus berlalu dan akhirnya hilang ditelan oleh kemajuan zaman. Semoga tulisan ini bisa membawa kita semua untuk bernostalgia ke suatu masa ketika kota Semarang ini mulai berkembang menjadi sebuah kota bisnis , serta mengetahui bahwa di Patjinan Semarang pernah berdiri gedong besar nan indah di masa lalu.

 





Terima kasih kepada para narasumber yang mau membagikan cerita serta ilmunya melalui tulisan tentang Gedong Gulo ini.
*pak Irawan Raharjo (pemerhati sejarah Patjinan)
*pak Gautama S. / Sie Hwan Swie.
*om pippo agosto sobat blusukan dan “editor” tulisan-tulisan saya.
*om Qing Liong yang juga banyak membantu terutama tentang ejaan serba serbi klenteng dan budaya Tionghoa

sumber tulisan
-Riwajat Semarang, Liem Thian Joe, 1933
-KITLV Leiden libary

Bram Luska

Januari 2022, menjelang Sincia


0 Komentar

Posting Komentar

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama