Fakta-fakta Toleransi pada Masa Lalu

Arkeolog melakukan ekskavasi | sumber: www.rt.com
Oleh Bambang Budi Utomo

Buat apa sih penelitian arkeologi untuk bangsa ini? Tampaknya cuma ngabisin duit aja. Demikian anggapan nyinyir sebagan besar anggota masyarakat tentang penelitian arkeologi. Untuk menjawab tudingan ini, kita mulai dari kerjaan peneliti di Pusat Penelitian Arkeologi Nasional. Ambil saja topik yang lagi ngetren sejak era reformasi 1998 yaitu tentang toleransi di masyarakat Indonesia. Pusat Penelitian Arkeologi Nasional melalui serangkaian penelitian arkeologi, berhasil menelusuri jejak toleransi dalam kehidupan masyarakat di Nusantara dalam kesehariannya. Rasa toleransi dan gotong-royong di dalam kelompok masyarakat telah lama timbul. Terdeteksi sejak masa prasejarah rasa toleransi dan gotong-royong telah lama muncul dan terus dipupuk di segala bidang dalam masyarakat.

Akhir-akhir ini Bangsa Indonesia didera oleh masalah toleransi, baik toleransi kehidupan beragama maupun toleransi kehidupan bersosial-budaya. Dulu dalam melakukan pekerjaan di kampung, dikenal adanya gotong-royong dalam menyelesaikan suatu pekerjaan, misalnya dalam hal kebersihan kampung atau membangun rumah ibadah. Tahun 1990-an di daerah Kabupaten Tapanuli Selatan, di sekitar Kecamatan Sipirok ada sebuah desa yang bernama Desa Pancasila. Dikatakan demikian karena masyarakat di desa itu dalam membangun rumah ibadah dilakukan secara gotong-royong antara kelompok masyarakat beragama Kristen dan kelompok masyarakat beragama Islam. Sebuah Gereja HKBP (Huraira Kristen Batak Protestan) dibangun dengan menyertakan kelompok masyarakat beragama Islam yang mengelola dana pembangunan. Sebaliknya ada bangunan masjid/musala yang dibangun, maka kelompok masyarakat yang beragama Kristen yang mengelola keuangannya. Keadaan seperti ini juga berlangsung di daerah-daerah lain di Indonesia. Entah apakah pada masa sekarang ini toleransi gotong-royong yang indah ini masih berlangsung. 

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, toleransi berasal dari kata “toleran” yang artinya bersifat atau bersikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan dsb) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri. Dalam kesehariannya toleransi selalu dikaitkan dengan agama atau kepercayaan. Jarang dikaitkan dengan sifat seseorang atau sekelompok masyarakat yang berlatar belakang budaya yang berbeda.

Akhir-akhir ini dua kata yang pengertiannya saling bertentangan sering terdengar di kalangan masyarakat, yaitu “toleransi” dan “intoleransi”. Kedua kata tersebut muncul dalam konteksnya dengan agama yang berkaitan dengan kelompok masyarakat antar kampung. Entah siapa yang memulai “kebiadaban” intoleransi terjadi di satu kawasan di Indonesia. Kejadiannya berlangsung ketika salah satu kelompok masyarakat sedang merayakan hari raya keagamaannya. Padahal pada kelompok masyarakat itu ada tradisi gotong-royong. Mengapa peristiwa intoleransi bisa pecah dan sejak saat itu terjadi bunuh-bunuhan dan bakar-bakaran. Tetapi sukur Alhamdulillah saat ini sudah reda. 

Sifat atau tabiat bertoleransi sebetulnya sudah lama muncul di kalangan masyarakat di Nusantara ini, jauh sebelum munculnya agama/kepercayaan pada masyarakat. Toleransi antar penganut agama yang diwadahi oleh pemerintah secara resmi muncul pada masa Kerajaan Majapahit. Pada waktu itu sudah dimunculkan hukum yang berkaitan dengan kehidupan beragama. Dan dikemudian hari kehidupan bertoleransi antaragama di beberapa tempat di Indonesia masih hidup. 

Manusia dalam Loyang
Lho kok bisa ada kerangka manusia di dalam “loyang”? Padahal yang namanya loyang ukurannya kecil. Ternyata memang demikian adanya. “Loyang” disini artinya “gua” dalam Bahasa Aceh Takengon. Kerangka-kerangka manusia yang ditemukan di dalam loyang ini semuanya dalam keadaan terkubur beristirahat dengan tenang lengkap dengan bekal kuburnya. Siapa mereka ini yang beristirahat di dalam loyang?
Loyang Mendale | sumber: travellink indonesia
Di daerah Takengon ada dua loyang, yaitu Loyang Mendale dan Loyang Ujung Karang. Dari kedua loyang tersebut ditemukan beberapa kubur dalam berbagai posisi dan arah bujur. Ada yang ditindis dengan batu, ada yang membujur biasa, ada yang menekuk, dan ada pula yang diberi bekal kubur. Melihat ciri fisik tengkoraknya ada yang Austromelanesid dan ada pula yang Mongoloid. 

Sebagaimana halnya dengan saudara mereka di Gua Harimau, Sumatera Selatan, ras yang terlebih dahulu datang ke daerah loyang ini adalah Austromelanesid. Setelah itu, sekitar 6000 tahun yang lalu barulah menyusul Ras Mongoloid yang datang dari daratan Tiongkok. Pada suatu masa kedua ras ini saling berinteraksi dan kawin mawin. Keturunan dari mereka ini menghasilkan kebudayaan yang baru. Perbuatan kedua ras inilah yang kemudian merupakan awal dari toleransi di suatu komunitas.

Gotong-royong Membangun Rumah Ibadah
Kompleks Plaosan dibangun secara gotong-royong oleh para penguasa daerah yang “tergabung” dalam Kerajaan Matarām. Para penguasa daerah ini membangun stūpa-stūpa perwara yang terdapat di satu kompleks. Nama para penguasa yang menyumbang pembangunan stūpa terukir pada batu dinding bangunan, seperti //asthūpa śrī mahārāja rakai pikatan// artinya ‘persembahan bangunan caitya oleh śrī mahārāja rakai pikatan’. dan //anumoda rakai gurunwaṅi dyaḥ saladu// artinya ‘persembahan oleh rakai gurunwaṅi dyaḥ saladu’. Kedua orang raja ini adalah penganut ajaran Hindu, sedangkan yang dibangun adalah stupa, bangunan suci ajaran Buddha.

Tafsir tulisan singkat tersebut, bahwa seorang raja yang menganut ajaran Hindu menyumbang bangunan suci untuk penganut ajaran Buddha berwujud bangunan stūpa. Sebagaimana diketahui bahwa stūpa utama Plaosan Lor dikelilingi oleh bangunan-bangunan stūpa perwara yang lebih kecil dan perwara deret II dan III berbentuk stūpa. Hal ini menunjukkan bahwa pada abad ke-9 antara ajaran Buddha dan Hindu hidup damai berdampingan – a pieceful co-exixtence of the main religions in early Central Java. Para penganutnya saling membantu mendirikan bangunan suci, meskipun ajaran keyakinannya berbeda.

Sementara itu, saudaranya di Sumatera Selatan, khususnya di Kedātuan Śrīwijaya seorang pendeta Hindu menghadiahkan sebuah arca Bodhisattwa Awalokiteśwara sebagaimana ditulis di punggung arca dengan tulisan //daŋ acharyya syuta//. Berasal dari sekitar abad ke-8-9 Masehi dan berlanggam Śailendra. Pendeta Hindu tersebut bernama Syuta dan bergelar Daŋ Acharyya.  Arca Bodhisattwa ini ditemukan di Situs Bingin Jungut, Sumatera Selatan, di antara reruntuhan bangunan bata.
Inskripsi Candi Plaosan berbunyi "dharmma sri maharaja" | sumber: lampau.in

Sampaikan Walau Hanya Satu Ayat
Hubungan pelayaran dan perdagangan antara Timur Tengah dan Nusantara sudah berlangsung lama. Konon kabarnya sejak masa pemerintahan Nabi Sulaiman atau Raja Salomo, para saudagar sudah memperdagangkan rempah yang kala itu cengkeh dan pala hanya dihasilkan di Maluku. Sejalan dengan ramainya aktivitas perdagangan masuk dan berkembang pula agama Islam. Masuknya agama ini di Nusantara tidak khusus dibawa oleh para mubalig, tetapi diperkenalkan juga oleh para saudagar. Memang tidak dapat dinafikan kalau para mubalig juga berperan serta dalam penyebaran Islam. Bahkan pada masa Śrīwijaya (sekitar abad ke-8-9 Masehi) seorang Mahārāja Śrīwijaya memohon kepada Khalifah Umar bin Abdul Azis untuk dikirimkan mubalig ke Śrīwijaya untuk mengajarkan Islam. Meskipun Śrīwijaya sebagai kerajaan yang mayoritas penduduknya menganut ajaran Buddha, namun tidak tertutup kemungkinan agama/ajaran lain juga berkembang.

Mengenai darimana Islam masuk Nusantara, ada beberapa pendapat dengan argumennya masing-masing. Ada yang berteori bahwa Islam datang dari Arab, Persia, India, bahkan ada yang menyatakan dari Tiongkok. Meskipun pendapat mengenai asalnya Islam berbeda-beda, namun ada kesamaan bahwa Islam masuk ke Nusantara melalui “perantaraan” kaum saudagar. Mereka berniaga sambil menyebarkan syiar Islam. Hal ini sesuai dengan hadist: “Sampaikanlah dari saya ini walau hanya satu ayat”. Kemudian sesampainya di Nusantara, barulah disebarkan oleh ulama-ulama lokal atau para wali seperti di Tanah Jawa ada Wali Sanga.

Masuk dan menyebarnya Islam di Nusantara tidak dengan cara pemaksaan yang diwujudkan dalam peperangan. Islam diterima masyarakat dengan sukarela dan penyebarannya pun dengan menggunakan pendekatan kebudayaan yang berkembang di masyarakat. Konon, Wali Sanga menyebarkannya dengan cara pertunjukan wayang, antara lain dikenalnya Kalimat Syahadat oleh masyarakat Jawa, melalui pertunjukan wayang dimana jimat/jamus atau layang (surat) kalimusada yang dimiliki oleh Yudistira (saudara tertua Pandawa). Letak toleransinya ada perasaan “tepa selira” di kalangan masyarakat tempatan terhadap penerimaan Islam. Pengenalan Islam disesuaikan dengan budaya masyarakat. Dengan demikian tidak ada ceriteranya Islam masuk ke Nusantara dengan cara peperangan. Dan perang agama –seperti Perang Salib di Eropa dan Timur Tengah—tidak pernah terjadi di Nusantara.

Kapal Sultan Mengantar Pekabar Injil
Kota Manokwari merupakan salah satu kota bersejarah bagi masyarakat Kristen (Protestan) di Papua karena pada tanggal 5 Februari 1855, dua orang Pekabar Injil mendarat di Pulau Mansinam yang letaknya tepat di muka kota Manokwari. dan memulai karya penyebaran agama Kristen Protestan di kalangan suku-suku yang pada masa itu misih suka berperang satu sama lain. 

Para Pekabar Injil yang merintis usaha Pekabaran Injil di Papua adalah dua orang bangsa Jerman, yaitu Carl Willem Ottow dan Johann Gotteb Geissler yang tiba di Batavia tahun 1852. Karena mereka bangsa Jerman, sementara itu Nusantara di bawah penguasaan Belanda, usaha mereka berdua untuk mengkristenkan Papua tidak mudah. Pada tahun 1854 keduanya tiba di Ternate, tempat kediaman Residen Belanda. Setelah mendapat izin dari Sultan Tidore sebagai penguasa wilayah utara Papua, barulah mereka menumpang kapal sultan dan mendarat di Pulau Mansinam yang dihuni oleh orang-orang Numfor-Biak. Perjalanan dari Ternate ke Pulau Mansinam ditempuh dalam waktu tiga minggu. 

Pekerjaan pertama yang dilakukan para Pekabar Injil ini adalah menebang pohon dan membangun rumah sendiri. Itulah sebabnya mereka disebut zendeling-tukang. Untuk memenuhi kehidupan mereka sehari-harinya berdagang karena mereka tidak digaji. Kotbah dilakukan di rumah yang mereka bangun, dan diadakan pada hari Minggu. Untuk menarik perhatian orang-orang Numfor, setelah kebaktian para pekabar ini membagikan tembakau atau gambir. Pada awalnya kotbah dilakukan dalam bahasa Melayu, tetapi pada tahun 1859 dilakukan dalam bahasa Numfor. 

Pada saat ini, setiap tanggal 5 Februari penduduk Papua merayakan kedatangan para Pekabar Injil ini, dan dirayakan sebagai Hari Pekabaran Injil di Tanah Papua. Setiap lima tahun sekali perayaan kedatangannya dilakukan secara besar-besaran. Mereka beramai-ramai membangun replika perahu dengan hiasan yang melambangkan perahu yang dipakai Sultan Tidore untuk mengantarkan Ottow dan Geissler dari Tidore (Maluku Utara) ke Mansinam (Papua Barat). Gambar-gambar Ottow dan Geissler terpampang di replika perahu dan di gereja-gereja. Peserta pawai bukan hanya orang yang beragama Kristen saja, tetapi juga umat Islam dari Manokwari berperan serta. Itulah kehidupan beragama yang harmonis dan indah.

Banyak sudah contoh-contoh toleransi yang dilaksanakan oleh kelompok-kelompok masyarakat di Nusantara. Toleransi di sebuah pulau dapat sama dengan toleransi yang dilakukan kelompok masyarakat di pulau lain. Masuknya suatu agama dan kemudian berkembang di satu kelompok masyarakat dapat dimungkinkan karena bantuan kelompok masyarakat yang agamanya lain seperti yang dilakukan oleh kelompok masyarakat di Maluku dan Papua. Jadi mengapa kita harus memaksakan kehendak dan tidak mengindahkan kaidah-kaidah bermasyarakat dengan baik. Kalau kita merasa berbudaya, jalankan kaidah-kaidah budaya kita dengan konsekuen.
Gereja Pekabaran Injil di Papua | sumber: liputan6

Daftar Bacaan
  • Bellwood, P., 1985. Prehistory of the Indo-Malaysian Archipelago. North Ryde, London: Academic Press.
  • Blust, R., 1996. “The prehistory of the Austronesian-speaking peoples: a view from  language”, dalam Journal of World Prehistory 9, hlm. 453-510
  • de Casparis, J.G. 1958. Berita Dinas Purbakala No. 4 (Short Inscriptions from Tjandi Plaosan). Djakarta: Dinas Purbakala.  
  • End, Dr. Th. van den. 1988. Ragi Carita: Sejarah Gereja di Indonesia, Jilid 2 (1860-an -- sekarang). Jakarta: BPK Gunung Mulia  
  • Graaf, H.J. de. dan Th.G.Th.Pigeaud, 1989. Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa: Peralihan dari Majapahit ke Mataram, Jakarta: Grafiti Pers.
  • Kempers, A.J. Bernet, 1959. Ancient Indonesian Art. Massachusetts: Harvard Univer¬sity Press.
  • Kempers, A.J. Bernet, 1977. Monumental Bali. Den Haag: van Goor Zonen.
  • Ketut Wiradnyana (ed), 2017. Tanoh Gayo Riwajatmoe Doeloe. Medan: Balai Arkeologi Sumatera Utara.
  • Simanjuntak, Truman, 2016. Harimau Cave and the Long Journey of OKU Civilization. Yogyakarta: Gajah Mada University Press dan Pusat Penelitian Arkeologi Nasional
  • Soekmono, 1973. Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia Jilid 3. Yogyakarta: Penerbitan Yayasan Kanisius
  • Suleiman, Satyawati, 1981. Monumen-monumen Indonesia Purba. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.

0 Komentar

Posting Komentar

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama