Lawatan Hayam Wuruk di Pajarakan Probolinggo Pada Tahun 1359 M



Oleh: Muhammad Fathur Rizky

Abstrak: Hayam Wuruk merupakan raja Majapahit ke lima, setelah raja atau ratu sebelumnya ialah Tribhuwanottunggadewi Jayawisnuwarddhani (ibunda dari Raja Hayam Wuruk). Beberapa ahli sejarah mengatakan bahwa Majapahit menjadi kerajaan yang makmur dan sejahtera ketika diperintah oleh Raja Hayam Wuruk. Pada masa Raja Hayam wuruk pula terkenal Maha Patih bernama Gajah Mada dengan sumpah untuk menyatukan Nusantara seutuhnya. Artikel ini berkaitan dengan Hayam Wuruk dalam lawatannya di wilayah Probolinggo lebih spesifik wilayah Pajarakan. Karya sastra pada masa Majapahit memberikan suatu informasi mengenai Kerajaan Majapahit pada masa pemerintahan Hayam Wuruk salah satunya, Kakawin Nãgarakrêtãgama, karangan Mpu Prapanca. Kakawin Nãgarakrêtãgama ini cukup memberikan informasi mengenai aspek kehidupan di kota, gambaran mengenai lingkungan keraton, serta keluarga raja juga termasuk golongan agamawan dan pemerintahan. Karya sastra tersebut memberitakan lawatan Hayam Wuruk di wilayah Probolingga termasuk juga Pajarakan. Pajarakan merupakan salah satu kecamatan di wilayah Kabupaten Probolinggo, salah satu desa di Kecamatan Pajarakan terdapat tinggalan arkeologis yaitu Desa Ketompen. Desa ini berada di utara Gunung Argopuro, juga di lintasi oleh anak Sungai Pekalen. Panorama Gunung Argopuro menambah kesan istimewa jika dilihat dari sisi Desa Ketompen. Anak Sungai Pekalen ini oleh masyarakat Desa Ketompen digunakan untuk mengairi lahan pertanian. Desa Ketompen berdekatan dengan Pondok Pesantren Zainul Hasan Genggong, yang memberikan kesan agamis kepada setiap masyarakatnya.
Kata Kunci: Hayam Wuruk, Kakawin Nãgarakrêtãgama, Probolinggo, Pajarakan

Latar Belakang
Majapahit adalah kerajaan yang didirikan oleh Nararya Sanggramawijaya, pada tahun 1216 śaka (1294 M) dalam prasasti Kudadu. Masa kejayaan Majapahit berlangsung dalam pemerintahan Hayam Wuruk. Dalam sebuah prasasti yang dikeluarkan oleh Tribhuwanottunggadewi Jayawisnuwarddhani Hayam Wuruk menjadi penguasa di Jiwana (Jiwanarajnapratistita dyah Hayam Wuruk bhatara sri ra jasanagara nama rajabhiseka)(Haryono,1997: 107). Pada tahun 1272 śaka (1350 M), Hayam Wuruk naik tahta menggantikan ibunya yaitu Tribhuwanottunggadewi Jayawisnuwarddhani (Munandar, 2008:1). Sebelumnya, Hayam Wuruk berkedudukan sebagai rajakumara (raja muda) di Jiwana (Kahuripan) (Munandar, 2008: 2). Kejayaan Majapahit tidak lepas dari peran Maha Patihnya yaitu Gajah Mada yang bersumpah hingga dapat mempersatukan Nusantara. Walaupun akhirnya Majapahit runtuh sekitar abad ke-16 (Sidomulyo, 2007: 1).


Karya sastra pada masa Majapahit memberikan suatu informasi mengenai Kerajaan Majapahit pada masa pemerintahan Hayam Wuruk salah satunya, Kakawin Nãgarakrêtãgama, karangan Mpu Prapanca. Kakawin Nãgarakrêtãgama ini cukup memberikan informasi mengenai aspek kehidupan di kota, gambaran mengenai lingkungan keraton serta keluarga raja juga termasuk golongan-golongan agamawan dan pemerintahan.
Naskah Kakawin Nãgarakrêtãgama pertama kali ditemukan di pulau Lombok pada tahun 1894. Penelitian terhadap isinya mula-mula dilakukan oleh J.L.A Brandes dengan memuat transkrip teks, yang selanjutnya diterjemahkan ke dalam Bahasa Belanda oleh H. Kern lengkap dengan catatan dari N.J. Krom. Jejak Kern kemudian diikuti oleh peneliti lain diantaranya Poerbatjaraka, Berg, Bosch, Teeuw dan Uhlenbeck. Pada tahun 1953 Slamet Muljana berhasil menterjemahkannya dalam Bahasa Indonesia dan ikuti oleh Th. Pigeaud dalam terjemahan Bahasa Inggris dan di kaji ulang secara mendalam dalam bukunya Java in the 14th century (Sidomulyo, 2007:2).
Dalam Kakawin Nãgarakrêtãgama ada peristiwa penting yang dapat dikaji dalam penulisan sejarah dan peristiwa tersebut termuat tahun-tahun penting yang berkenaan dengan perjalanan Hayam Wuruk di wilayah Jawa bagian timur. Rute perjalanan paling panjang Hayam Wuruk yang ada pada isi Kakawin Nãgarakrêtãgama pada tahun 1281 śaka (1359 M) yaitu ke Lamajang.

b. Kondisi Geografis Desa Kuno Wilayah Probolinggo

Wilayah kerajaan terdiri atas wilayah pusat yang terdapat sebuah istana raja atau kadatwan, pemerintah daerah yang dipimpin oleh para rakyãn (gelar kebangsawanan) dan para pamgat (gelar keagamaan) (Boechari, 2012:247).
Dari prasasti Wariŋin Pitu yang berangka tahun 1447 M menyebutkan 14 negara bagian atau setingkat provinsi, yaitu: Daha, Jagaraga, Kahuripan, Tañjuŋpura, Pajaŋ, Kembaŋ Jnar, Weṅker, Kabalan, Tumapel, Siṅapura, Matahun, Wīrabhūmi, Kliŋ, Kaliṅgapura (Hardianti, 2015: 59).
Dalam N Nãgarakrêtãgama menyebutkan rombongan meninggalkan Majapahit tepat pada bulan purnama dalam Bhãdrapada tahun Śaka 1281, yang mungkin jatuh pada minggu pertama bulan September 1359 M (Sidomulyo, 2007: 5).
Dari perjalanan Hayam Wuruk menuju wilayah Lamajang tentunya melewati daerah yang sangat indah, terkhusus di wilayah Probolinggo. Raja dan rombongan melewati pesisir pantai utara Jawa kemudian mengarah ke selatan juga melewati lembah yaitu Babo-runting kemungkinan saat ini di wilayah Bantaran dan dekat desa Pasawahan yang kemungkinan saat ini adalah Banjarsawah.


Tak hanya itu ketika kembalinya dari Keta, Raja Hayam Wuruk beserta rombongan melewatai bukit Sampora yang kemungkinan saat ini dikenal dengan Tampora, melewati Sungai Pancaralagas yang mengalir ke arah utara dari mata air pegunungan Hyang. Menuju ke arah barat area Pajarakan bertemu dengan Kali Pekalen dan Raja menuju hutan rimba di Sagara yang mana hutan tersebut berada di wilayah Gunung Hyang. Pada hutan tersebut ada pertapaan atau sebuah mandala kadewaguruan.
Kitab Tantu Panggelaran menyebut Gunung Hyang sebagai sebuah gunung yang terdapat maṇḍala-maṇḍala. Dalam perjalanan Bujangga Manik, diketahui Bujangga Manik mengunjungi Gunung Hyang. Perjalanan Bujangga Manik merupakan perjalanan rohani yang mana Bujangga Manik mengunjungi maṇḍala-maṇḍala yang ada di Jawa dan Sunda (Noorduyn, 1982: 427-428).
Di dalam Tantu Panggelaran, Gunung Hyang yang terdapat sebuah kabuyutan yaitu Kalyasĕm. Kabuyutan tersebut merupakan nama makam yang dijadikan pertapaan penganut bhairawaksa. Kalyasĕm berada di sebelah utara paguhan Gunung Hyang (Setyani, 2011: 85). Tantu Panggelaran menyebutkan Kalyasĕm masih berhubungan dengan maṇḍala Sāgara, Kaṇḍawa, Wasana, dan Talun.
Kutipan teks Tantu Panggelaran mengenai letak Kalyasĕm:
Ana ta sma ring gunung Hyang, ring arggha Kalyasĕm, ngaranya
Terjemahan:
              Tersebutlah makam di Gunung Hyang bernama puncak Kalyasĕm
Setelah dari pertapaan di Sāgara, Raja Hayam Wuruk menuju utara dan melewati Gendhing. Ke arah barat lagi, raja melewati Sungai Banger yang pada zaman dulu masih bisa dilalui kapal kecil masuk sungai tersebut. Kemudian raja beserta rombongan menuju ke arah barat dan seterusnya.
Dari penjelasan di atas, artinya kondisi geografis wilayah Probolinggo dahulunya menjadi sebuah idaman dan kebanggaan Raja Hayam Wuruk. Hingga raja dan rombongan menginap lama berada di wilayah Kalayu, Pajarakan dan mandala ri Sagara.

c. Latar Belakang Lawatan
Hayam Wuruk Di Wilayah 

Timur Pulau Jawa
Pada masa lampau, Majapahit merupakan salah satu kerajaan terbesar yang pengaruhnya sampai wilayah Asia tenggara. Puncak keemasan atau kejayaan Majapahit pada pemerintahan Raja Hayam Wuruk dengan mahapatihnya Gajah Mada. Membicarakan tokoh pemimpin besar adalah suatu hal yang menarik. Apalagi pemimpin tersebut dalam usahanya mewujudkan ambisi pribadi yang dapat mempengaruhi rakyatnya dan berhasil pula dalam mengangkat kerajaan ke arah lebih besar ( Wiwoho, 1982: 1 ).
Usaha-usaha Raja Hayam Wuruk selama pemerintahannya adalah meningkatkan kemakmuran rakyat dengan berbagai usaha dan tindakanyan nyata ( Haryono, 1997: 107 ). Perjalanan Raja Hayam Wuruk yang ditulis dalam Kakawin Nãgarakrêtãgama menjelaskan beberapa nama tempat atau daerah yang dikunjungi dalam lawadannya yaitu, Pajang pada tahun 1351 M, Lasem pada tahun 1354 M, Lodaya tahun 1357 M, Lamajang pada tahun 1359 M dan Simping pada tahun 1363 M. Dalam bukunya yang berjudul Negarakrtagama dan Tafsir Sejarahnya (1997: 282 ) pupuh XVII:4, 5, 6, 7 , Slamet Muljana menjelaskan sebagai berikut:
4 Tiap bulan sehabis musim penghujan beliau biasa pesiar keliling desa Sima di selatan Jalagiri,disebelah timur pura ramai tak ada hentinya selama pertemuan dan upacara Girang melancong Wewe Pikatan setempat dengan candi Lima.
5 Pergilah beliau bersembah bhakti kehadapan Hyang Ancalapati. Biasanya, terus menuju Balitar, Jimur mengunjungi gunung-gunung permai. Di Daha terutama ke Polaman, ke Kuwu dan Lingga hingga ke desa Bangin. 
Setelah sampai di Jenggala, singgah  Surabaya, terus menuju Buwun
6 Tahun Aksatisurya 1275 Sang Prabu menuju Pajang membawa banyak pengiring. Tahun Saka-Angga-Naga-Aryama 1276 ke Lasem, melintasi pantai Samudra. Tahun Saka-Pintu-Gunung-Mendengar-Indu ke laut selatan dan menembus hutan. Lega menikmati indahnya Lodaya,Tetu dan Sideman
7 Tahun Saka-Seekor-Naga-Menggigit-Bulan 1281 di bhadrapada. Sri Nata berpesiar keliling seluruh negara menuju Lamajang. Naik kereta diiringi semua raja Jawa dan permaisuri dan abdi, mentri, tanda, pendeta,pujangga serta para pembesar ikut serta
Perjalanan Hayam Wuruk tersebut dapat mungkin ditafsirkan bahwasanya beliau ingin mengetahui dari dekat kehidupan rakyatnya, kemajuan yang telah tercapai dan bisa jadi untuk memantau kinerja pemerintah di bawahnya benar bekerja apa tidak. Tak lepas dengan itu, Hayam Wuruk merupakan sosok yang ingin selalu dekat dengan rakyatnya. Dalam kunjungannya di daerah-daerah, Hayam Wuruk selalu disambut dengan meriah, dan yang pasti Hayam Wuruk selalu membagi bagikan harta kepada rakyatnya.
Ada kemungkinan juga perjalanan Hayam Wuruk menuju wilayah timur pulau Jawa terkhusus wilayah Lamajang adalah untuk memberikan rasa nyaman dan aman juga sebagai konsolidasi politik dan konsolidasi agama. Hal itu di dasari akibat pemberontakan-pemberontakan terdahulu seperti pemberontakan Nambi atau Lamajang yang terjadi pada tahun 1238 saka atau 1316 masehi.
Pemberontakan tersebut terjadi pada masa Jayanegara, raja Majapahit kedua karena adu domba oleh Dyah Halayuda atau Mahapati. Setelah Jayanegara mangkat 1328 masehi kemudian tampuk pemerintahan kerajaan Majapahit di pegang oleh Tribuwana Tunggadewi. Kemudian pada pemerintahan Tribuwana Tunggadewi terjadi pemberontakan Sadeng dan Keta. Menurut Pararaton terjadi pada tahun 1253 saka 1331 masehi. Pemberontakan tersebut ada kemungkinan balas dendam setelah terjadinya penyerangan ke Lamajang oleh Jayanegara.
Maka bukan tidak mungkin juga kalau perjalanan Hayam Wuruk menuju wilayah Lamajang termasuk wilayah Probolinggo adalah konsolidasi politik dan agama serta memberikan rasa aman dan nyaman kepada rakyat di wilayah timur Pulau Jawa atas apa yang telah terjadi beberapa tahun silam sebelum Hayam Wuruk menjabat sebagai Raja Majapahit. Perlu diperhatikan juga perjalanan Hayam Wuruk di wilayah Lamajang terbilang cukup lama dari daerah yang menjadi kunjungannya.

d. Lawatan Hayam Wuruk Di Pajarakan Probolinggo

Nāg. [32]. 1
"Śighran dhatangi Pajarakan patang dina lawas narapati namegil,
Ngkānēng harahara kiduling sudharma sugatāsana makuwukuwu,
Mantri wiku haji karuhun sangāryya sujanottama parengumarek,
Kapwā nagturakenuphaboga bhojana winēh dhana padha kasukan"
 (Riana, 2009:168).
Terjemahan:
Baginda raja segera tiba di Pajarakan empat hari lamanya bermalam di sana,
Di tanah lapang sebelah selatan Candi Buddha Baginda memasang tenda,
Para menteri, pendeta raja dengan pemuka Arya Sujanotama menghadap bersama-sama,
Seraya mempersembahkan busana, santapan maka diberikan imbalan hadiah yang menyenangkan hati.
Tibalah Hayam Wuruk di Pajarakan dan menginap empat hari lamanya dengan membangun tenda di sebelah selatan Candi Buddha. 
Pajarakan memiliki riwayat sejarah sangat panjang. Selain tercatat dalam Nãgarakrêtãgama, Calon Arang dan Bujangga Manik, Pajarakan memiliki peranan penting pada masa Portugis kisaran abad ke-16 M ( Cortesao, 1944: 197 ). Pajarakan berada di wilayah pesisir pantai utara Jawa sebelah barat dari Kraksaan dan Gending. Maka tak heran kalau Pajarakan menjadi peranan penting di masa Portugis di Nusantara.


Dalam pupuh ke 32:1 tersebut juga dikisahkan bahwasanya Hayam Wuruk di sambut oleh menteri, pendeta dan Arya Sujana. Dalam ulasan Candi Buddha tersebut di atas sebagai sudharmma kasogatan dapat di mungkinkan adalah Situs Ketompen yang berada di Dusun Kentrung Desa Ketompen Kecamatan Pajarakan. Menjadi sebuah catatan, bahwasannya di sebelah selatan dari desa Ketompen ada sebuah kampung bernama Genggong yang terkenal dengan pondok pesantrennya. Genggong sendiri bisa jadi kemungkinan Genggon yang tertulis dalam kitab Calon Arang. Desa tersebut dan Pajarakan di lewati oleh Mpu Bharadah ( Poerbatjaraka, 1926: 138 ). Situs tersebut tak jauh dari Sungai Pekalen yang berada di sebelah timur dari situs tersebut. Banyak sekali peniggalan artefaktual di Situs Ketompen ini dengan beberapa ukuran besar seperti makara berbentuk ular. Hadi Sidomulyo menyebutkan ada beberapa benda artefaktual seperti dwarapala dan lain lainnya. Akan tetapi ketika penulis mengunjungi tempat tersebut di tahun 2016 tidak menemukan keberadaan arca tersebut. Yang tersisa hanya balok-balok batuan candi dengan bermotif, makara berbentuk ular dan fragmen dari padmasana.



e. Saran Pemikiran

Dalam undang-undang cagar budaya nomer 11 tahun 2010 mengatakan peran penting antara pemerintah dan masyarakat dalam ikut andil pelestarian cagar budaya. Hal tersebut yang seharusnya menjadi acuan bagaimana kepedulian pemerintah dan masyarakat dalam pelestarian cagar budaya. Studi kasus pada Situs Kentrung di Desa Ketompen Kecamatan Pajarakan Kabupaten Probolinggo kurangnya perhatian lebih dari pemerintah maupun masyarakat. Tidak adanya plang situs sebagai penanda di daerah sana merupakan cagar budaya yang harus di lindungi dan dilestarikan. Mungkin menjadi pemikiran kita bersama jika pemerintah terkhusus pemerintah Kabupaten Probolinggo dalam mensosialisasikan pentingnya cagar budaya bagi kelestarian nanti sebagai “Tetenger” suatu daerah yang berdampak pada sejarah daerah.




Daftar Rujukan
  • Boechari. 2012. Melacak Sejarah Kuno Indonesia Lewat Prasasti. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
  • Cortesao, A. 1944. The Suma Oriental of Tome Pires. London: Hakluyt Society
  • Hardianti. 2015. Prasasti Batur: Suatu Tinjauan Kritis Pada Prasasti Masa Majapahit. Depok: Universitas Indonesia (Skripsi)
  • Haryono, Timbul. 1997. Kerajaan Majapahit: Masa Sri Rajasanagara sampai Girinddhrawardhana. Yogyakarta: Humaniora V
  • Muljana, Slamet. 1997. Negarakretagama dan Tafsir Sejarahnya. Jakarta: Bhratara Karya Aksara
  • Munandr, A. A. 2008. Ibukota Majapahit, Masa Jaya dan Pencapaian. Depok: Komunitas Bambu
  • Noorduyn, J. 1982. Bujangga Manik’s journeys through Java: Topographical data from and old Sundanese Source, Bandung: BKI.
  • Poerbatjaraka, R. Ng. 1926. De Calon Arang, BKI 82
  • Riana, I. K. 2009. Kakawin Desa Warnnana Uthawi Nagarakrteagama: Masa Keemasan Majapahit. Jakarta: Kompas media Nusantara.
  • Setyani, Turita Indah. 2011. Tantu Panggelaran Representasi Ruang Simbolik dalam Konsep Kesempurnaan Dunia Jawa. Depok: FIB UI
  • Sidomulyo, Hadi. 2007. Napak Tilas Perjalanan Mpu Prapanca. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.
  • Wiwoho, Richardus Handoyo. 1982. Tinjauan Kembali Tokoh Hayam Wuruk dan Gajah mada. Jakarta: FS UI

Salam Sigarda ✌️ Indonesia 🇲🇨

#KENALI
#CINTAI
#Bersama
#SINAU_CAGAR_BUDAYA

0 Komentar

Posting Komentar

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama