Pogogutat, Tradisi Gotong Royong Orang Bolaang Mongondow



Penulis: Moh. Rivaldi Abdul – Kontributor Sigarda

“Kalu di kota kua’ sapa ngana sapa kita.” Kurang lebih demikian orang di desa saya menggambarkan sikap mementingkan diri sendiri yang sering kali melanda masyarakat urban.

Kalimat itu dalam bahasa melayu Manado, yang artinya: jika di perkotaan, prinsipnya siapa kamu dan siapa saya. Maknanya adalah penggambaran sikap individualistis alias mementingkan diri sendiri. Padahal, kita seharusnya kan hidup rukun dalam kebersamaan.

Kamu boleh membantah bahwa tidak semua masyarakat kota itu individualistis. Pun, tidak semua masyarakat desa juga sosialistis. Agar tak berlanjut ke arah perdebatan, ruwet kalu diperpanjang, maka saya cuma bisa bilang: “Persatuan Indonesia.” Itu ajaran Pancasila. Bahwa baik masyarakat desa maupun kota harus hidup bersatu, sehingga jangan individualistis, melainkan hidup rukun saling tolong-menolong, sebab kita adalah satu bangsa, yaitu Indonesia.

Di Bolaang Mongondow Raya, ada salah satu tradisi gotong royong, yaitu pogogutat. Tradisi ini mengajarkan masyarakat untuk hidup rukun dan saling tolong-menolong.

Oiya, bagi yang belum tahu, Bolaang Mongondow Raya–Kab. Bolaang Mongondow, Kab. Bolaang Mongondow Selatan, Kab. Bolaang Mongondow Timur, Kab. Bolaang Mongondow Utara, dan Kota Kotamobagu–adalah satu wilayah di Sulawesi Utara. Kawasan ini mencakup separuh wilayah Sulawesi Utara. Letaknya di antara Minahasa dan Gorontalo.

Nah, dalam kehidupan sosial orang Bolaang Mongondow dikenal tradisi pogogutat.

William Dunnebier dalam tulisannya: Spraakkunst van Het Bolaang Mongondowsch (Tata Bahasa Bolaang Mongondow), menerangkan kalau pogogutat berasal dari kata dasar “utat”, yang berarti saudara, baik itu laki-laki maupun perempuan. Dan, awalan “po-” mengindikasikan cara atau upaya mewujudkan kata yang didasarinya. Dalam hal pogogutat, maka berarti kekeluargaan. Sehingga, dapat dimaknai bahwa pogogutat adalah tradisi untuk mewujudkan dan senantiasa menjaga ikatan kekeluargaan orang Bolaang Mongondow.

Tradisi ini juga disebut “bagutat”, artinya berkeluarga.

Nadjamuddin Tome, dkk., dalam Sastra Lisan Bolaang Mongondow, menjelaskan kalau pogogutat adalah tradisi kegotongroyongan dalam menyelesaikan satu kesulitan atau saling membantu ketika ada hajatan, seperti khitanan, pernikahan, dan kedukaan.

Kalau biasanya, di daerah lain, orang yang melaksanakan hajatan bakal mengeluarkan biaya yang terbilang tidak sedikit, di Bolaang Mongondow Raya ya sama saja, pastinya penyelenggara harus mengeluarkan uang. Namun, di Bolaang Mongondow Raya, orang-orang yang datang menghadiri hajatan akan membawa barang-barang keperluan harian: beras, minyak kelapa, telur, mentega, dan lain-lain, untuk diberikan kepada penyelenggara hajatan. Sehingga, beban si penyelenggara dalam melakukan hajatan akan sedikit teringankan.

Tentu itu tidaklah gratis. Mesti dibayar. Tapi, bukan dengan uang tunai, melainkan dengan pemberian yang sama ketika di kemudian hari orang yang telah memberi (tamu-tamu yang membawa barang harian) melakukan hajatan.

Lah, kalau si pemberi tidak melakukan hajatan setelahnya? Ya, tidak mendapat balasan dan tidak ada tuntutan untuk dikembalikan.

Sederhananya, tradisi pogogutat adalah upaya orang Bolaang Mongondow untuk saling meringankan beban dengan cara gotong royong saat menghadapi hajatan. Sebab, dalam prinsip orang Mongondow hidup tidak individualistis, tapi harus saling tolong-menolong. Jadi, harus gotong royong, dan dengan demikian ikatan pogogutat (kekeluargaan) sesama orang Bolaang Mongondow ikut terjaga.

Sifat kekeluargaan orang Bolaang Mongondow juga tergambar jelas pada Motto Bolaang Mongondow Raya: mototompiaan, mototabian, bo mototanoban. Artinya, baku bae (saling memperbaiki/menjaga silahturahmi), baku sayang (saling mengasihi), dan baku inga (saling mengingatkan).

Apa hanya orang Bolaang Mongondow yang punya tradisi saling meringankan beban?

Oh, tidak. Berbagai suku bangsa di Nusantara memiliki tradisi gotong royong. Misalnya, di Minangkabau, ada tradisi tua bernama bareh saganggam. Beras segenggam dikumpulkan hingga menjadi banyak, dan itu tidak memberatkan setiap orang yang mengumpulkan beras, sebab hanya segenggam saja. Namun, setiap genggam beras yang terkumpul itu sangat berarti bagi yang membutuhkan.

Dan banyak lagi tradisi-tradisi gotong royong dalam masyarakat Nusantara. Ada yang masih bertahan, seperti pogogutat di Bolaang Mongondow Raya, dan ada yang mulai hilang. Ini menggambarkan kalau masyarakat Nusantara aslinya mengutamakan hidup rukun dalam kebersamaan. Maka dari itu, sifat gotong royong merupakan satu nilai penting dalam Pancasila.

0 Komentar

Posting Komentar

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama