Uniknya Prasasti Rabwan (Roban)


Diinfokan Ulang dari akun facebook: Setianingseh

Banyak prasasti pada era Medang ditulis diatas Batu – Lempengan Tembaga, namun Prasasti Rabwan mempunyai keunikan tersendi, yaitu ditulis diatas Lonceng / Gentha Perunggu kecil berukuran tinggi sekitar 17 cm dan diameter +/- 13 cm.

Gentha ini ini ditemukan pada tahun 1952 di Desa Tlogo Pakis Kecamatan Petung Kriyono – Kabupaten Pekalongan oleh seorang petani yang kebetulan sedang membajak sawahnya.Gentha Perunggu tersebut disimpan di Museum Nasional Jakarta.

Prof. Boechari telah melakukan penelitian dan hasilnya diterbitkan / dipublikasikan dalam salah satu makalah ilmiah dalam forum ASAIHL Seminar on Fine Arts of Southeast Asia, Bangkok (1963) dengan judul “A Dated Bronze Temple Bell from Pekalongan”Prasasti Rabwan ditulis dalam Aksara dan Bahasa Jawa Kuno, terdiri dari 2 (dua ) baris, sbb.:

Om namaś śiwäyai çaka 827 phälguņa mäsa tithi saptami súkla. Tu. Wa. So. Wära käla rakryän I wuŋkaltihaŋ pu wïrawikrama maņarpanäkan gaņtha I bhathara iŋ rabwän.

Likhita siņgahan

Terjemahan (bebas):Pada tahun Saka 827 bulan Palguna tanggal 7 paruh terang, wara Tunglai – Wagai – Soma.Rakryān I Wungkaltihang bernama Pu Wīrawikrama mempersembahkan sebuah genta perunggu kepada Bhaţāra Sang Lumah i Rban pada tahun 827 Saka (905 M).

Adanya nama Raban atau Rabwan atau Roban di sini menunjukkan bahwa pada tahun 905 M daerah ini masih eksis dan saat itu berkait dengan adanya bangunan suci raja (sangat mungkin berupa makam) dimana seorang raja atau kerabat raja telah diistirahatkan di Roban.Kemudian ada nama Wungkaltihang. Nama ini identik dengan Wungkalhumalang atau Watutihang yang disebut dalam prasasti Wanua Tengah III (908 M). Nama itu sebelumnya menjadi tanah lungguh dari seorang pangeran bernama Rakai Wungkalhumalang yang kemudian naik tahta menjadi raja Mataram antara tahun 894-898 M. Prasasti ini menyebutkan bahwa yang mempersembahkan genta perunggu adalah Pu Wīrawikrama dari Wungkaltihang. Dapat dipastikan bahawa Pu Wīrawikrama adalah seorang pejabat tinggi dan mungkin keturunan dari Rakai Wungkalhumalang yang berkuasa antara tahun 894-898 M (lihat Kusen dalam tulisan “Raja-raja Mataram Kuna dari Sanjaya sampai Balitung”, dalam Berkala Arkeologi, Tahun 1994, Edisi Khusus, hlm. 90-94).

Pada prasasti ini ada sebutan Bhatara Sang lumah i Rban. Istilah bhatara dipakai untuk menyebut seorang raja bijaksana yang telah wafat. Adanya kata sang lumah i rban dimaksudkan bahwa raja tersebut di makamkan di Rban. Pu Wirawikrama begitu cinta kepada raja yang telah wafat ini tentunya bukan tanpa alasan. Sangat besar kemungkinan bahwa Pu Wirawikrama adalah anak atau keturunan dari raja tersebut. Persoalannya sekarang ialah siapakah raja yang dimakamkan di Rban tersebut. Menurut silsilah raja-raja yang tercantum di dalam prasasti Wanua Tengah III (908 M), Raja Rake Wungkalhumalang Dyah Jbang memerintah dari tanggal 27 Nov. 894 hingga tanggal 23 Mei 898 (lihat Kusen, ibid. hlm. 93).

Berakhirnya pemerintahan Rake Wungkalhumalang yang hanya berjalan 4 tahun, besar kemungkinan karena sakit lalu wafat. Bahwa 7 tahun kemudian yaitu pada tahun 905 M, Pu Wirawikrama mempersembahkan sebuah genta perunggu kepada raja yang dimakamkan di Rban, hal ini tidak aneh karena almarhum adalah leluhurnya sendiri.

Data kesejarahan ini sangat penting karena ternyata bahwa Rabwan atau Roban menjadi tempat makam bagi seseorang yang dihormati, mungkin seorang raja pada akhir abad ke-9 M. Sebagai akibat dari adanya makam penting ini maka pada bulan-bulan tertentu daerah Rabwan menjadi ramai oleh kedatangan para peziarah. Hal ini juga menjadi salah satu faktor terjadinya percepatan urbanisasi pada jaman itu dimana banyak orang bermukim di tempat yang sudah ramai. Lokasi Rabwan ini bukan di dekat pantai yang bisa kena banjir (istilah Jawa: rob), tetapi di dataran yang agak tinggi dan bebas dari banjir.

Prasasti perunggu Rabwan termasuk artefak kecil yang dapat dipindah-pindahkan. Seharusnya prasasti ini berada di Rabwan tetapi oleh pemilik atau pewarisnya dibawa ke tempat lain dan akhirnya terpendam atau “disimpan” di Petungkriyono di wilayah Pekalongan. Prasasti itu itemukan lagi pada tahun 1952 setelah terpisah oleh rentang waktu 947 tahun (905 – 1952).

0 Komentar

Posting Komentar

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama