BENTENG KUTO BESAK: JEJAK KEJAYAAN KESULTANAN PALEMBANG

Sumber: nationalgeographic.grid.id


Oleh: Muhamad Abdu


Palembang saat ini menjadi menjadi ibukota Provinsi Sumatera Selatan dan menjadi pusat administrasi, pemerintahan, perekonomian, industri, kebudayaan, dan pendidikan. Palembang pernah dikenal dengan kota pelabuhan internasional saat berada di bawah kekuasaan Kerajaan Sriwijaya. Akan tetapi nama Palembang baru dikenal pada masa Kesultanan Palembang Darussalam. Puncak kejayaan Kesultanan Palembang Darussalam berlangsung pada masa Sultan Mahmud Badarudin II (1804-1821) dan mengalami keruntuhan pada tahun 1823, setelah dihapuskannya ‘kesultanan’ dan ditetapkannya Palembang sebagai karesidenan oleh Belanda.


Dalam sejarahnya, Kesultanan Palembang Darussalam telah mengalami beberapa kali perpindahan pusat pemerintahan. Dimulai dari Kuto Gawang, Beringin Janggut, Kuto Tengkuruk, dan Kuto Besak. Dari sekian banyak keraton yang pernah berdiri, yang masih dapat kita lihat sampai sekarang adalah Keraton Kuto Besak. Keraton atau Benteng Kuto Besak menjadi istimewa karena berada di pusat kota dan pernah ditempati oleh Belanda setelah kejatuhan Kesultanan Palembang Darussalam. Usaha Belanda dalam menjatuhkan Kesultanan Palembang Darussalam tidak mudah karena kuatnya dinding Keraton Kuto Besak memiliki banyak meriam yang tersimpan di benteng tersebut.


Keraton Kesultanan Palembang Darussalam


Benteng Kuto Besak sebenarnya merupakan keraton ke empat dari Kesultanan Palembang. Pada mulanya Kesultanan Palembang merupakan kerajaan vassal Mataram, dengan letak keraton yang berada di sebelah timur Kota Palembang dengan nama Keraton Kuto Gawang. Pada tahun 1615, VOC memiliki keinginan untuk memonopoli perdagangan di Palembang, akan tetapi hal tersebut ditentang oleh penguasa Palembang. Puncak dari pertentangan ini terjadi pada tahun 1659 saat VOC menyerang dan membakar Keraton Kuto Gawang, sehingga menyebabkan dipindahkannya keraton ke lokasi yang baru. Lokasinya terletak di sisi timur Sungai Tengkuruk dan dikenal dengan nama Keraton Beringin Janggut. 


Pada masa pemerintahan Sultan Mahmud Badaruddin I (1724-1758), pusat pemerintahan dipindahkan ke sisi barat Sungai Tengkuruk dengan nama Keraton Tengkuruk atau Keraton Kuto Batu. Setelahnya pusat pemerintahan dipindahkan lagi ke lokasi baru yang sampai saat ini dikenal dengan nama Benteng Kuto Besak. Secara arkeologis, keraton-keraton Kesultanan Palembang Darussalam yang masih dapat diidentifikasi adalah Keraton Kuto Gawang dan Benteng Kuto Besak, sedangkan Keraton Beringin Janggut dan Keraton Kuto Batu sudah tidak dapat diidentifikasi lagi.

 

Benteng Kuto Besak Pada Masa Kesultanan Palembang Darussalam


Saat pusat pemerintahan Kesultanan Palembang masih berada di Keraton Tengkuruk, gagasan untuk membuat Keraton Kuto Besak sudah di mulai pada masa kekuasaan Sultan Mahmud Badaruddin I. Akan tetapi pembangunan Keraton Kuto Besak baru dilaksanakan pada tahun 1780 saat Sultan Muhammad Bahauddin (1776-1803) berkuasa dan baru ditempati pada tahun 1797. Pembangunan Keraton Kuto Besak memakan waktu kurang lebih 17 tahun dengan biaya yang besar, seluruh biaya tersebut berasal dari perbendaharaan Sultan Muhammad Bahauddin sendiri.


Gambar 1. Gambaran benteng Kesultanan Palembang | sumber: atlasofmutualheritage.nl


Keraton Kuto Besak memiliki panjang 288,75 meter dan lebar 183,75 meter, serta menghadap ke arah tenggara. Pada setiap sudutnya terdapat bastion, di sudut utara, timur, dan selatan berbentuk trapesium, sedangkan bastion di sudut barat berbentuk segilima. Di sisi timur, barat, dan selatan terdapat pintu masuk benteng, dengan pintu gerbang utama yang disebut Lawang Kuto yang terletak di sisi sebelah selatan menghadap ke Sungai Musi. Sedangkan pintu masuk lain disebut Lawang Buratan yang berjumlah dua, tetapi yang tersisa hanya di sisi sebelah barat.




Gambar 2. Gerbang utama benteng Palembang | sumber: rotterdam.wereldmuseum.nl



Pada bagian dalam benteng terdapat tempat tinggal sultan yang disebut 'dalem' atau 'rumah sirah'. Dalem tersebut terdiri dari beberapa bangunan dan dikelilingi oleh tembok. salah satu bangunan dalem yang menghadap Sungai Musi berfungsi sebagai 'pamarakan', yakni dimana sultan dapat memandang luas keraton dan Sungai Musi. Di bagian belakang dalem terdapat 'keputren'. Bangunan ini dilengkapi dengan sebuah kolam pemandian yang berbentuk segiempat.

Pada bagian depan benteng terdapat alun-alun yang disebut ‘meidan’. Terdapat juga dermaga yang disebut ‘tangga dalem’, yang merupakan jalan sultan menuju Sungai Musi. Diujung tangga terdapat sebuah gerbang beratap limas yang disebut ‘tangga raja’. Di dekat gerbang utama terdapat bangunan ‘paseban’ dan ‘pamakaran’ yang terbuat dari kayu, beratap sirap, dan tidak memiliki dinding.



 

Gambar 3. Pintu masuk benteng | sumber: rotterdam.wereldmuseum.nl


Benteng Kuto Besak Pada Masa Kolonial


    Keraton Kuto Besak merupakan salah satu benteng yang tidak mudah dikalahkan oleh musuh. Kuatnya dinding Keraton Kuto Besak terbukti saat digempur oleh Belanda secara besar-besaran pada tahun 1819 dalam Perang Menteng. Peluru-peluru armada Belanda tidak mampu menggetarkan dinding Keraton Kuto Besak. Keraton Kuto Besak sendiri menyimpan 129 buah meriam dari berbagai macam ukuran, sehingga memaksa Belanda mundur dari Palembang.


    Belanda mengalami kekalahan selama dua kali pada tahun 1819, hal ini membuat Belanda mempersiapkan sebuah ekspedisi militer besar untuk menaklukkan Palembang. Perang berlangsung dari tanggal 21 sampai 24 Juni 1821, membuat Keraton Kuto Besak benar-benar jatuh ke tangan ke Belanda. Hal ini membuat Sultan Mahmud Badaruddin II dan pengikutnya diasingkan ke Ternate pada tanggal 3 Juli 1821, dan selanjutnya berimbas dengan dihapuskann ‘kesultanan’ pada tahun 1823. Meskipun kesultanan dihapuskan, Sultan masih tetap di perbolehkan untuk memakai gelar Sultan sebagai bentuk penghormatan.


        Sejak Belanda berhasil menguasai Kesultanan Palembang, keraton beralih fungsi menjadi sebuah benteng kolonial. Bangunan keraton di bongkar dan hanya menyisakan dinding tebal yang dibiarkan menjadi sebuah benteng. Bangunan-bangunan yang terdapat di bagian dalam benteng diganti dengan bangunan baru seperti kantor, rumah perwira, barak prajurit, dan bangunan pertemuan. Sedangkan Palembang dijadikan sebagai daerah keresidenan yang dipimpin oleh seorang residen. Pusat administrasi berlokasi di sekitar Benteng Kuto Besak, seperti sebuah bangunan baru sebagai kediaman residen yang masa sekarang digunakan sebagai Museum Sultan Badaruddin II. Pemukiman dekat keraton yang dulunya merupakan tempat tinggal bangsawan kesultanan, saat ini ditempati oleh oleh perwira-perwira dan pegawai Hindia-Belanda.


Gambar 4. Pergantian penjaga di benteng | sumber: www.nationaalarchief.nl


        Hak pengelolaan Benteng Kuto Besak saat ini diserahkan kepada Kementrian Pertahanan sebagai pusat Kesehatan Daerah Militer (Kesdam) Kodam II/Sriwijaya. Akan tetapi, di kawasan sekitar Benteng Kuto Besak bisa kita kunjungi sebagai destinasi wisata di Kota Palembang. Kawasan Benteng Kuto Besak saat ini menjadi tempat aktifitas sosial, budaya, olahraga, rekreasi, dan ekonomi, serta sebagai sarana untuk belajar dan mengenal sejarah mengenai kebesaran Palembang di masa lalu.

 

Referensi:


Alnoza, Muhamad. (2020). Benteng Kuto Besak Sebagai Pengawas Kota Lama Palembang Dalam Sudut Pandang Teori Panopticon. Dalam Alnoza, Muhamad. “Kota Tua Banyak Cerita Jilid 1”. Sukabumi: Farha Pustaka.

 

Jumhari. (2010). Sejarah Sosial Orang Melayu, Keturunan Arab dan Cina di Palembang: Masa Kesultanan Palembang Hingga Reformasi. Padang: BPNST Padang Press.

 

Novita, Aryandini. (2013). Benteng Kuto Besak Dari Keraton Hingga Instalasi Militer. Dalam Adrisjanti, Inajati. Benteng Dulu, Kini & Esok. Yogyakarta: Kepel Press.

 

Triacitra, Rima Agri. (2021). Dari Kuto Gawang Ke Kuto Besak: Pasang Surut Perdagangan Pada Masa Kesultanan Palembang Tahun 1804-1821. [Tesis]. Palembang: Universitas Islam Negeri Raden Fatah Palembang.


 Oktavia, Maharani dan Try Melasari. (2017). Deskripsi Sosial Ekonomi Masyarakat Yang Bekerja di Kawasan Objek Wisata Benteng Kuto Besak (BKB) di Kota Palembang. Jurnal Pendidikan Geografi. Vol.4 (6). Hal. 43-53.


0 Komentar

Posting Komentar

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama