Persebaran Begraafplaats di Surabaya, 1759-1935

 Oleh: Khusnul Avivah


        Tradisi permakaman di Indonesia sudah dikenal sejak masa pra sejarah dengan berbagai temuan bukti arkeologis yaitu bekal kubur, menhir, dan dolmen. Seiring berjalannya waktu beberapa tradisi pemakaman tersebut mulai ditinggalkan karena masa Klasik atau Hindu Budha muncul. Lalu muncul lagi tradisi moksa pada masa klasik seperti adanya arca Bhairawa Budha Tantrayana yang merupakan arca perwujudan Raja Adityawarman. Kitab Negarakertagama menyebutkan Raja Adityawarman merupakan pemeluk agama Budha Bhairawa sehingga kerap melakukan pemujaan dan ritual terhadap Bhairawa Budha untuk memaknai kematian dan mengekspresika kematian tokoh melalui bentuk arca. Pada awal abad XII masuknya islam, tradisi pemakaman berganti lagi dengan ditemukannya bukti arkeologis yang berupa nisan makam Malik as-Salih. Surabaya pada tahun 1743 mulai diduduki oleh Belanda hingga 1945, sehingga orang Belanda yang meninggal dimakamkan di sebuah kompleks permakaman (diluar halaman gereja) yang disebut begraafplaats. Kata begraafplaats berasal dari Bahasa Belanda.

            Sebelum abad XIX di Eropa sangat terkenal dengan memakamkan jenasah di halaman gereja yang disebut kerkhof. Kata Kerkhof berasal dari Bahasa Belanda yang artinya halaman gereja. Orang Eropa percaya bahwa halaman gereja merupakan tempat suci, karena pada dasarnya gereja merupakan pusat yang penting dalam kehidupan masyarakat, mengingat segala kegiatan penting dilakukan di gereja, seperti upacara pembaptisan bayi, pernikahan, dan kematian. Kepercayaan tersebut dibawa oleh orang Belanda pada masa kolonial ketika menguasai Indonesia. Bagi orang Belanda permakaman merupakan kebutuhan yang sangat penting di Nusantara karena banyak orang Belanda yang meninggal akibat kondisi tubuh yang belum terbiasa dengan iklim tropis. Pada abad XVIII seiring dengan pertumbuhan penduduk di Eropa, kota-kota semakin padat, banyak orang meninggal hingga gereja kehabisan lahan untuk permakaman. Akibatnya, jasad yang baru meninggal dikubur diatas jasad lama. Lama-kelamaan jarak antara jasad dengan permukaan tanah menjadi dangkal. Jasad-jasad tersebut membusuk, hingga akhirnya muncul wabah di kota-kota besar. Di Prancis terjadi perubahan besar dalam pengelolaan dan desain permakaman. Pemerintah dan pengurus gereja di Prancis pada tahun 1776, seccara resmi melarang penguburan jenasah di halaman gereja. Kemudian kebijakan tersebut ditiru oleh negeri Eropa yang lain   (Mytum, 1989).

            Majalah Locale Techniek edisi tahun 1933 menjelaskan bahwa tidak semua lahan dapat dijadikan kawasan permakaman. Ada beberapa ketentuan yang harus dipenuhi antara lain, air harus bisa menyerap ke tanah, jenis tanah bukan tanah lempung, draisenansenya bagus, dan lingkungan sekitar berupa lahan kosong agar mempermudah jika akan meluaskan Kawasan permakamannya. Selain itu, letak permakaman tidak menghambat perluasan kota dan tidak terlalu dekat dengan pemukimanm karena beberapa orang tidak suka tinggal di dekat permakaman. Akan tetapi tidak terlalu jauh juga dengan permukiman, agar para rombongan pengantar jenasah tidak kelelahan.       

            Surabaya pernah menjadi pusat perdanganan orang-orang Eropa seperti Portugis yang tiba tahun 1521, pada tahun 1612 Belanda  tiba di Surabaya. Orang Belanda membuka pos perdangangan (VOC) di Surabaya pada tahun 1617. VOC di Surabaya sempat tutup selama 18 tahun sejak tahun 1628 dan buka Kembali di tahun 1646. Atas persetujuan VOC Surabaya di bawah oleh kekuasaaan  kerajaan Mataram hingga tahu 1743. Pada tahun 1740-1743 terjadi pemberontakan Tionghoa, Surabaya sepenuhnya di bawa oleh kekuasaan VOC. Surabaya pada masa itu produk ekspornya hanya beras setekah dikuasai oleh VOC Surabaya menjadi Pelabuhan ekspor hasil bumi seperti nila, kopi, tebu. Seiring berjalannya waktu, VOC mendirikan beberapa fasilitas untuk memenuhi kebutuhan manusia yang tinggal di kota seperti rumah sakit, tempat tinggal, gereja, kanal, kantor, tembok kota, gudang dan kompleks permakaman. 

 

Permakaman Belanda Pertama di Surabaya

Permakaman Belanda tersebar di beberapa daerah di Indonesia salah satunya yaitu Surabaya. Berdasarkan peta lamanya tahun 1825 permakaman Belanda pertama di Surabaya ada di Surabaya tepatnya di halaman Gereja  yang dulu pernah berdiri di Willemsplein. Pada tahun 1759 gereja tersebut di bangun oleh Abraham Christoffel Coertz. Tradisi permakaman tersebut sama seperti di Eropa, jenasah orang-orang Belanda dimakamkan  di halaman gereja (Kerkhof). Gereja tersebut dibongkar pada tahun 1929 lalu di bangun kantor Internationale Handels-, Credit, Veereniging Rotterdam. Sebelum gereja tersebut di bongkar beberapa batu nisan dipindahkan ke tempat lain, salah satunya yaitu batu nisan Abraham Christoffel Coertz yang dipindah ke GPIB Bubutan sebelum tahun 1929 (Ginaris, 2019).

 

Begraafplaats Krembangan

Pada tahun 1793 permakaman di halaman gereja resmi dilarang, akhirnya pemerintah kolonial membuka begraafplaats baru di Krembangan. Akan tetapi tanah di Krembangan merupakan tanah rawa yang sering tergenang air sehingga tidak digunakan lagi. Tahun 1925 pemerintah kota menggusur begraafplaats Krembangan. Sehingga beberapa nisan dipindahkan ke Kembang kuning dan tidak ada sisa sama sekali dari begraafplaats Krembangan kecuali toponimi nama jalan Makam Krembangan.

Gambar 1. Letak permukiman Eropa (1) dengan permakaman Belanda

Krembangan (2) pada peta tahun 1825.

(Sumber: colonialarchitecture.eu)

Begraafplaats Peneleh

Pada peta lama tahun 1866 terdapat Begraafplaats Peneleh dan hingga saat ini masih bisa dikunjungi, meskipun sudah tidak digunakan lagi. Makam ini terlelak di jalan Makam Peneleh, Kelurahan Peneleh, Kecamatan Genteng, Surabaya tepatnya berada di sebelah timur Puskesmas peneleh dan sebelah utara berbatasan dengan Kali Mas. Begraafplaats Peneleh memiliki luas 4,5 ha Pada tahun 1915 diperkirakan sudah ada 13.00 jenazah yang ada di Peneleh. Terdapat satu nisan M. Pieter Merkus seorang Gouverneur Generaal Van Nederlandsch Indieyang meninggal tahun 1844, sedangkan di tahun tersebut Begraafplaats Peneleh belum ada. Jadi nisan tersebut merupakan pindahan dari Begraafplaats Krembangan. Pada tahun 1866 di peta lama Begraafplaats Peneleh sudah dikelilingi perkampungan dan kebun bambu.

 

Gambar 2. Makam Peneleh pada peta tahun 1866 (kiri) dan 1934 (kanan).

(Sumber: colonialarchitecture.eu)


Gambar 3.  Bangunan Omah Balung yang dimaksudkan sebagai

tempat penyimpanan tulang belulang.

(Sumber: Dokumentasi Pribadi)


Konsep yang digunakan di Begraafplaats ini sudah menggunakan konsep Garden Cemetery yang diperkenalkan di Eropa pada masa Revolusi Industri. Hal tersebut terbukti pada makam-makam monumental yang dilengkapi hiasan patung malaikat, salib, hiasan tanaman hias dll. Selain itu juga menggunakan Teknik grid sehingga terkesan rapi karena bentuknya beraturan. Begraafplaats Peneleh terdapat bangunan ossarium yang berfungsi untuk penyimpanan tulang, oleh karena itu di sebut omah balung.

 

Begraafplaats Kembang Kuning

Begraafplaats Kembang Kuning ini berada di Jalan Kembang Kuning, Kelurahan Pakis, Kecamatan Tegalsari, Surabaya. Jika berdasarkan peta tahun 1934 Begraafplaats Kembang Kuning sudah dikelilingi oleh kompleks pemukiman. Begraafplaats Kembang Kuning selain di gunakan oleh orang umum terdapat juga kompleks ereveld (tempat pemakaman orang Belanda yang gugur pada waktu Perang Dunia II dan perang Kemerdekaan) tak hanya itu saja yang dulunya dinas di Angkatan Laut Kerajaan Belanda, Angkatan Darat Belanda, Tentara Kerajaan Hindia Belanda (KNIL) dan warga sipil dari kampung-kampung di Jawa Timur.

Gambar 4. Makam Kembang Kuning (kiri) Makam Kembang Kuning tahun 1934 (kanan)

(Sumber: maps.library.leiden.edu)

Gambar 5. Makam Kembang Kuning Ereveld korban tragedi Gubeng Transport

(Sumber: dokumentasi pribadi)

Selain itu juga terdapat monument Karel Doorman untuk mengenang 915 serdadu Angkatan Laut Kerajaan Belanda yang gugur pada pertempuran Laut Jawa, di monumen tersebut tidak ada jasadnya karena jasad mereka tetap berada di dalam laut. Selain itu juga terdapat makam anak-anak yang menjadi korban perang 1945 yang dikenal dengan sebutan Gubeng Transport (gambar 5).  Makam Kembang kuning sangat berbeda dengan makam Peneleh yang memiliki berbagai macam hiasan, makam Kembang Kuning bentuknya sangat sederhana.

 

            Pada dasarnya persebaran permakaman Belanda di Surabaya dimulai ketika pengurus gereja melarang untuku memakamkan jenazah di halaman gereja. Larangan tersebut muncul karena dikhawatirkan timbulnya wabah penyakit dari jenasah yang dikuburkan. Wabah tersebut akan semakin mudah menular karena setiap minggu orang-orang berdatangan ke gereja, belum juga jika terdapat upacara tradisi di gereja, karena letak gereja ada di tengah kota. Oleh karena itu pemerintah kolonial memindahkan lahan permakaman di Krembangan. Selanjutnya makam Krembangan hampir penuh dan tekstur tanah yang tidak sesuai, pemerintah kolonial memindahkan permakaman ke permakaman Peneleh.  Letak Begraafplaats Peneleh strategis tidak mengganggu pembangunan wilayah kota, karena letak Begraafplaats Peneleh ada di sisi timur Kali Mas sedangakan wilayah pembangunan kota ada di sebrang barat Kali Mas. Seiring berjalannya waktu permakaman Peneleh semakin ramai karena terdapat bangunan ossuarium, terdapat tekni huurkelders dan grafkelder yang bisa diisi lebih dari satu jenasah. Semakin banyaknya permintaan lahan makam hingga akhirnya kehabisan lahan dan tidak bisa diperluas lagi. Akhirnya permakaman Belanda menyebar di wilayah Kembang Kuning.

            Persebaran tersebut terjadi karena beberpa faktor di antaranya yaitu jika semakin banyaknya yang dikubur di halaman gereja tentunya akan menimbulkan wabah penyakit seperti yang terjadi di Eropa pada abad XVII, apalagi letak gereja di Surabaya terletak di tengah permukiman orang Eropa. Faktor kedua yaitu untuk membangun kompleks permakaman tentunya membbutuhkan kriteria-kriteria yang harus dilakukan agar jenasah tetap aman seperi yang dijelaskan dalam majalah Locale Techniek. Faktor yang terakhir yaitu beralih fungsinya lahan disekitar permakaman sehingga wilayah permakaman tidak bisa diperluas.


Daftar Pustaka 

  • Avifah, K., 2020. Tradisi Penguburan di Sumba dan Tana Toraja . In: Artefak Media             Komunikasi Arkeologi. Yogyakarta: HIMA Arkeologi UGM.
  • dkk, A., 2020. Menilik Cerminan Ritual Kematian Masa Klasik Dari Arca Bhairawa Budha Padang Roco-Roco . In: Artrfak Media Komunikasi Arkeologi. Yogyakarta: HIMA   Arkeologi UGM.
  • Ginaris, L. S., 2019. PERGESERAN LETAK PERMAKAMAN BELANDA DI KOTA SURABAYA             DARI ABAD 18 HINGGA AWAL ABAD 20. Berkala Arkeologi, p. 18.
  • Leushuis, E., 2014. Panduan jelajah kota-kota pusaka di Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Ombak.
  • Mahendrani, C. R., n.d. Nisan Makam Peneleh Belanda.
  • Mytum, H., 1989. Mytum, Harold. (1989). Public Health and Private Sentiment: The           Development of Cemetery Architecture and Funerary Monuments from the           Eighteenth Century Onwards.. Word Archaeology, Volume 21.
  • Perkasa, A., 2012. orang-orang tionghoa dan islam di majapahit. In: A. Permana, ed.          s.l.:s.n.
  • Widodo, D. I., 2013. Hikajat Soerabaia Tempo Doeloe. s.l.:s.n.


 

0 Komentar

Posting Komentar

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama