Selayang Pandang Islamisasi Awal di Kota Semarang

Oleh Anna Sri Malupi
Ditulis sebagai materi perbincangan Komunitas Bersuara Radio Dais Semarang - 22 Agustus 2022

    Pengenalan dan perkembangan awal agama serta budaya Islam di kota Semarang seiring sejalan dengan perkembangan kota Semarang sebagai kota dagang yang memiliki pelabuhan Tanjung Mas. Setelah perkembangan Kasultanan Demak sebagai sebuah kerajaan maritim, Semarang tumbuh sebagai kota dagang yang ramai. Awal perkembangannya ditandai dengan pembangunan berbagai fasilitas fisik seperti fasilitas transportasi sungai, darat maupun laut. Pertumbuhan sarana transportasi tersebut memunculkan kampong-kampung berpenduduk muslim. Penduduk asli Semarang di kampung-kampung muslim memperoleh pengaruh Islam dari pedagang-pedagang asing yang berasal dari Gujarat, Persia dan Cina. Dari wilayah pesisir kota Semarang itulah banyak alim ulama dan tempat-tempat pengenalan Islam yang jejak-jejak bangunan bersejarahnya terlihat sampai sekarang ini.

    Masjid Agung Kauman Semarang terletak di Jl. Aloen-aloen Barat No. 11, Kampung Kauman, Kelurahan Kauman, Kecamatan Semarang Tengah, Kota Semarang adalah salah satu buktinya. Masjid Agung kauman Semarang merupakan masjid yang pertama kali dibangun sebagai pusat penyebaran agama Islam di Kota Lumpia. Tempat ibadah ini  kemudian akan lebih dikenal dengan Masjid Agung Semarang. Secara pasti tidak diketahui kapan masjid Agung kauman berdiri, namun terdapat keterangan yang mengatakan bahwa Masjid Agung Kauman Semarang ini dibangun pada abad ke 16 oleh Ki Ageng Pandan Arang yang mendapat tugas untuk menyebarkan agama Islam di Kota Semarang. Setelah Ki Ageng Pandan Arang meninggal dunia, posisinya digantikan oleh putranya yang diangkat menjadi Bupati Semarang oleh Sultan Demak dengan gelar Ki Ageng Pandan Arang II. Masjid Agung Kuman sendiri selain digunakan sebagai tempat ibadah dan menjadi pusat pengajaran agama Islam, juga digunakan sebagai pusat kegiatan pemerintahan setempat.

    Pada tahun 1704 pada masa pemeritahan bupati Semarang Adipati Suromenggolo terjadi peristiwa besar yaitu pemberontakan orang- orang Cina terhadap VOC. Akibat fatal dari pemberontakan ini terbakarlah masjid dan pemukiman santri yang di bangun oleh Ki Ageng Pandan Arang. Secara perlahan, pada tahun 1741 masjid bersejarah ini dibagun kembali oleh Bupati Suromenggolo. Sedangkan bentuk kekunoan dari masjid kauman ini tidak terlalu kelihatan karena tertutup bangunan baru yang mengelilinginya, kita dapat melihat kekunoan bangunan masjid ini dari pintu gerbang yang berada di depan masjid dan atap masjid berbetuk tumpang yang hanya dapat dilihat agak jauh.

a. Bangunan utama
    Bangunan utama masjid Agung kauman semarang adalah bangunan yang mempunyai atap bersusun tiga. Bangunan ini diapit oleh beberapa bangunan dan ruang yang mengelilingi yaitu serambi depan, serambi samping, ruwang pawestren dan ruang wudhu.  Ruang utama dalam ruangan ini terdapat Mihrab dan Mimbar. Selain itu dalam ruangan ini juga terdapat  tiang-tiang yang berfungsi sebagai pennyangga yang berjumlah 36 buah. Selain itu didalam ruangan ini juga terdapat tangga yang berfungsi untuk naik ke loteng atau atas plafon. Sedangkan atap masjid kauman sendiri berbentuk tumpang susun tiga.

b. Serambi
    Serambi Masjid Agung Kauman Semarang terdapat di depan dan samping utara dan selatan masjid. Bangunan serambi memiliki dua lantai yang dilapisi oleh kramik. Untuk menuju lantai atas terdapat tangga di sisi utara dan selatan. Dalam ruangan serambi terdapat dua bedug yang memiliki ukuran yang berbeda. Pembangunan serambi masjid Agung Kauman Semarang, pertama kali dilakukan pada tahun 1904.

c. Bangunan Pelengkap
    Bangunan lain yang mendukukung fungsi bangunan utama antara lain tempat wudhu pria dan wanita, Kantor pengurus atau takmir masjid, serta ruang pawastren. Selain itu terdapat menara yang berada di sudut utara timur serambi setinggi 33 meter dan di depan masjid terdapat sebuah gapura atau pintu gerbang berbentuk paduraksa. Pada bagian atas pintu gerbang sisi luar terdapat tulisan angka latin 1904 dan bagian atas sisi dalam juga terdapat tulisan angka Arab 1322. Selain tulisan pada bagian atas pintu gerbang, pada bagian badan bawah sisi dalam terdapat empat inskripsi yang masing- masing memiliki huruf yang berbeda-beda dan Masjid Agung Kauman Semarang juga memiliki tiga koleksi pusaka berupa tombak pemberian dari bupati semarang Toemengoeng Adipati Purboningrat, yang masing masing memiliki nama yaitu Kanjeng Kyai Pleret, Kanjeng Kyai Mojo, dan Kanjeng Kyai Puger.

    Tempat bersejarah yang membuktikan awal perkembangan Islam di kota Semarang adalah Klenteng Sam Poo Kong. Jejak warga keturunan Tionghoa hampir bisa ditemukan di seluruh belahan dunia. Fenomena tersebut adalah salah satu bukti bahwa mereka gemar melakukan penjelajahan lintas samudra dan benua sejak zaman dahulu. Nusantara adalah salah satu wilayah yang turut pula disinggahi orang Tionghoa. Salah satu persinggahan yang terkenal adalah legenda kunjungan Laksamana Cheng Ho di Semarang, Jawa Tengah.

    Klenteng Sam Poo Kong yang terletak di kawasan Bukit Simongan menjadi saksi bisu penjelajahan Cheng Ho di Nusantara. Kelenteng tertua sekaligus yang terbesar di Semarang ini menjadi tempat berteduh dan tempat tinggal sementara Laksamana Cheng Ho atau Zheng He saat harus "terpaksa" merapat ke pelabuhan pada tahun 1416. Ketika itu, juru mudi kapalnya, Wang Jing Hong, sedang sakit keras. Menurut sejarahnya, juru mudi Cheng Ho sakit keras. Cheng Ho sempat merawat Wang Jing Hong bersama awak kapalnya.

    Sebuah gua batu dijadikan tempat istirahat Laksamana Cheng Ho, dan di sana pula Wang Jing Hong diobati. Kondisi Wang Jing Hong bersangsur membaik setelah dirawat oleh beberapa awak kapal yang menetap bersama warga Simongan. Setelah Wang Jing Hong sembuh, Cheng Ho kembali berlayar dan melanjutkan misi perdamaian dan perdagangan, meski tanpa Wang Jing Hong. Wang Jing Hong menetap di Simongan. Bersama warga setempat, dia bercocok tanam dan membangun rumah. Usaha sang juru mudi pun berbuah manis. Daerah tersebut berkembang dan menjadi makmur. Namun, tak serta merta Wang Jing Hong melupakan jasa Cheng Ho. Untuk menghormati dan mengenangnya, Wang Jing Hong pun mendirikan patung Cheng Ho di gua batu tersebut.

    Cheng Ho itu, walaupun secara religius dia seorang muslim sejati yang taat menjalankan ibadahnya, sebenarnya tidak meninggalkan kearifan lokalnya yang berasal dari daratan Cina. Cheng Ho tetap dibangunkan kelenteng. Bukti kentalnya toleransi dan pembauran budaya juga tampak jelas di Kelenteng Sam Poo Kong. Semua orang bisa masuk ke Kelenteng Sam Poo Kong, apa pun agamanya. Di klenteng ini tidak harus yang beragama Konghucu saja yang sembahyang. Islam pun bisa masuk, Kristen, Katolik juga bisa masuk. Asalkan tetap bisa menjaga dan menghormati orang yang sedang sembahyang.

    Selama ini banyak masyarakat yang mendengar nama Sunan Kuning, mereka akan mengaitkannya dengan kawasan lokalisasi di Semarang yang saat ini sudah ditutup. Namun, menurut penjaga makam, Sunan Kuning atau bermana lain Soen An Ing merupakan seorang tokoh penyebar agama islam di wilayah tersebut. Makam Sunan Kuning berada di Jalan Taman Sri Kuncoro, RW 2 RT 3, Kali Banteng, Semarang Barat. Jaraknya sekitar 100 meter saja dari pusat lokalisasi. Terlihat makam tersebut berada di atas pemakaman umum di bukit Pekayangan atau sering disebut Tepis Wiring. Nama Sunan Kuning adalah Soen An Ing, dan nama tersebut tertulis jelas di Gapura masuk pemakaman yang sedikit bernuansa Tionghoa dengan gaya khas dari bentuk gapura dan warna merah. Makam bersejarah ini dilengkapi 3 bangunan di tengah pemakaman umum yang dipisahkan gapura. Ketiga bangunan bergaya Tiongkok itu terdiri dari cungkup makam Sunan Kuning, cungkup makam 3 pengikutnya, dan musala. Di dalam cungkup makam Sunan Kuning sendiri terdapat 3 makam. Yakni makam Mbah Sunan Kuning, lalu ada makam Mbah Sunan Kali sama Mbah Sunan Ambarawa. Menurut sejarah yang diketahuinya, makam Sunan Kuning ini ditemukan sekira tahun 1700-an. Hal ini dikuatkan dengan prasasti dan tulisan di batu nisan perihal nama maupun jatidiri yang ada di makam tersebut.

    Sejarah Semarang lama mencatat bahwa terdapat tempat-tempat yang menjadi pusat peradaban budaya yang saat ini masih eksis dan sebagian hanya tinggal kenangan (bangunan tua). Tempat tersebut dibagi menjadi 4 (empat) yaitu : Kampung Kauman, Kampung Pecinan, Kampung Belanda ( Little Netherland), dan Kampung Melayu. Kampung Kauman pada tempo doeloe merupakan kawasan padat penduduk keturunan jawa, sekarang keturunan Arab juga banyak. Kampung Pecinan dihuni sebagian besar oleh keturunan Tionghua dan Kampung Belanda merupakan daerah pemerintahan dan kota kecil yang sekarang disebut dengan  Semarang Kota Lama. Sementara Kampung Melayu lebih banyak keturunan Arab, dan pada saat ini masyarakat Jawa lebih banyak berada di daerah kampung melayu.

    Tata kota Semarang pada zaman sekarang maka sebenarnya menunjukkan akulturasi kebudayaan-kebudayaan yang berbeda di Semarang. Sebagai titik sentral adalah jembatan Kali Mberok, maka Kampung Melayu yang berada di sebelah utara, sangat berdekatan dengan Jalan Layur dan Masjid Menara. Sementara Litte Netherland berada di sebelah timur yang sekarang menjadi Kawasan Kota Lama yang ditandai dengan berjajarnya gedung-gedung Pemerintah Kolonial Belanda ke arah barat hingga ke Bundaran Tugu Muda. Sementara di sebelah barat Kali Mberok merupakan kawasan etnis Jawa yang disebut dengan Kampung Kauman. Masyarakat etnis keturunan Tionghoa lebih banyak berkumpul di bagian selatan Kali Mberok yang sekarang menjadi Kawasan Pecinan kota Semarang. Beberapa kampong yang menjadi bukti perkembangan islamisasi awal di kota Semarang adalah sebagai berikut:

1. KAMPUNG KAUMAN
    Kauman atau kampung Kauman secara legendaris merupakan kaum yang dihuni oleh masyarakat Jawa yang secara religiusitas beragama Islam. Ciri khas utamanya adalah banyaknya santri yang belajar agama Islam di kampong yang merupakan pusat kota Semarang tempo dulu. Bangunan yang masih kokoh berdiri adalah Masjid Agung Semarang Kauman. Sebagai pusat peradaban Islam, maka Kauman sangat berperan penting dalam perkembangan Kota Semarang seperti saat ini. Penduduk yang padat menjadi modal besar tersendiri bagi perkembangan kebudayaan Jawa yang direpresentasikan dalam Kampung Kauman. Sebenarnya apa yang dimaksud dengan Kauman? Dalam berbagai literasi Sejarah Jawa, Kauman sering menjadi bukti konkret perkembangan muslim pada kota-kota lama yang bernafaskan Islam. Tidak hanya di Semarang, di Surakarta, Yogyakarta, serta Demak terdapat tempat yang bernama Kauman. Secara umum Kauman merupakan ciri khas kebudayaan Jawa yang lebih dekat dengan tradisi-tradisi agama Islam. Ciri khas utama Kauman adalah adanya 4 ciri fisik yang spesifik yaitu Masjid Wali, bundaran alun-alun, pusat pemerintahan dan pasar tradisional sebagai pusat perekonomian dan sosial rakyat setempat.

    Keempat ciri khas utama tersebut yang menjadi penanda sebuah kampong disebut sebagai Kampung Kauman. Masjid sebagai tempat ibadah, bundaran alun-alun sebegai sarana kegiatan sosial masyarakat, pasar tradisional sebagai pusat perdagangan dan tempat pemenuhan kebutuhan sehari-hari, dan pusat pemerintahan sebagai komponen utama dalam bidang politik. Sejarah membuktikan bahwa kawasan Kauman Semarang muncul ketika kerajaan Demak Bintoro  berdiri yang merupakan kerajaan Islam pertama di Pulau Jawa. Nama Kauman sendiri berasal dari kata kaum sing aman (kaum = qoum = tempat tinggal orang Islam). Jadi Kauman bisa bermakna tempat tinggal masyarakat Islam yang aman.

    Ketika kerajaan Demak Bintoro sudah berdiri kokoh, maka untuk mempersatukan Demak dengan wilayah sekitarnya sangat diperlukan birokrasi pemerintahan yang bisa mengaturnya. Salah seorang tokoh yang memengang peran penting adalah Ki Ageng Pandan Arang I . Ki Ageng Pandan Arang merupakan putra dari Panembahan Sabrang Lor (Sultan Kedua dari Kesultanan Demak). Pada awal babat alas di wilayah Semarang, sebenarnya wilayah yang dituju berada di sekitar Pragota (sekarang bernama Bergota). Seiring berjalannya waktu, maka Ki Ageng Pandan Arang kemudian juga menyebarkan Islam hingga Pedamaran. Sekarang Jalan Pedamaran berada di wilayah Semarang Tengah yang ditandai dengan keramaian Pasar Pedamaran, semakin berkembang lagi menjadi Pasar Yaik dan Pasar Johar. Perkembangan tidak hanya sampai pusat ekonomi, namun juga pusat religi dengan membangun masjid yang berada di sebelah barat Kali Mberok yang sekarang bernama Masjid Agung Kauman Semarang.

    Setelah Ki Ageng Pandan Arang I wafat, maka posisi pemerintah diserahkan kepada putranya yang bermana Pangeran Mangkubumi, disebut juga Ki Ageng Pandanaran II atau Sunan Bayat. Pada tahun 1695, kawasan kota lama Semarang dihuni oleh beragam etnis yang bertujuan untuk melakukan perdagangan dan ekspansi wilayah. Ekspansi wilayah dilakukan oleh orang-orang Eropa, khususnya orang-orang Belanda yang ikut berkembang di Kawasan Kota Lama Semarang. Pada masa itu, pemerintah Kolonial Belanda membangun kawasan elit dan perkantoran yang berjajar dari bundaran Bubakan hingga Bundaran Tugu Muda. Wilayahnya terbagi menjadi dua yaitu Gedongan bagi kawasan elit Hindia Belanda dan Perkampungan bagi warga pribumi. Kawasan perkampungan ini sekarang dikenal sebagai Kampung Pecinan, Kampung Melayu dan Kampung Kauman. Inilah kawasan kota lama sesungguhnya.

2. KAMPUNG PECINAN
    Pecinan merupakan sebutan bagi masyarakat etnis keturunan Tionghoa yang hidup berkemlompok menjadi satu wilayah. Pada awalnya orang-orang Tionghoa bertempat tinggal di kawasan Kota Lama Semarang. Sebenarnya mereka hidup dan bertempat tinggal di kawasan Little Netherland yang berlokasi di  Kota Lama. Namun pada tahun 1695 pemerintah Kolonial Belanda secara tidak langsung membatasi akses masyarakat Tionghoa hingga akhirnya berpindah di sekitar kawasan Kampung Melayu. Oleh karena alasan nilai ekonomis dan budaya, orang-orang Tionghoa lebih banyak berkembang di sekitar selatan Kampung Kauman. Perkembangan masyarakat Tionghoa semakin banyak dan kemudian mendirikan kawasan dan rumah-rumah sendiri yang dibuat dengan atap genting dan pagar-pagar tinggi, khas rumah masyarakat Tionghoa. Rumah-rumah masyarakat Tionghoa pertama kali berada di sekitar Pecinan Lor dan Pecinan Wetan. Oleh karena membutuhkan biaya cukup tinggi dan berbagai syarat yang tidak mudah dalam mendirikan rumah, maka ketika itu hanya orang-orang Tionghua yang kaya saja yang bisa membangun rumah permanen.

    Kondisi jalan yang tidak terlalu lebar seperti sekarang, membuat masyarakat Tionghoa menciptakan sebuah moda transportasi dengan memakai tenaga kuda yang disebut dengan Be Too. Masyarakat Tionghoa lebih banyak melakukan aktivitas perdangangan dengan komoditas dagang yang berasal dari Cina (Tiongkok) seperti perhiasan emas, kain sutra, keramik dan makanan khas mereka seperti lumpia. Hingga sekarang, perdangangan tersebut masih banyak terkonsentrasi di Kawasan Pecinan. Misalnya kawasan perhiasan dan kain yang berada di Jalan Wahid Hasyim. Kebangkitan ekonomi masyarakat keturunan Tionghoa di Semarang adalah ketika pemerintah Kolonial Belanda mulai mendekati orang-orang Tionghoa yang sukses. Salah satunya dengan mengangkat orang-orang Tionghoa yang sukses tersebut menjadi pejabat di kantor-kantor pemerintah Kolonial Belanda. Kwee Kiau Loo adalah salah seorang tokoh dari masyarakat keturunan Tionghoa pertama yang menjadi pejabat Hindia Belanda.

    Pengangkatan pejabat dari kalangan Tionghoa yang sukses tersebut tidak berlangsung lama. Ketika Semarang secara de yure diserahkan kepada Pemerintah Hindia Belanda yang dikuasai oleh VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie – Perserikatan Perusahaan Hindia Timur) oleh Susuhunan Mataram maka posisi masyarakat Tionghua sedikit menjadi kurang berperan dalam bidang politik. Pemerintah Kolonial Belanda menerapkan kebijakan dengan memberikan pajak tinggi terhadap barang dagangan yang dikelola olah orang Tionghua seperti arak dan garam. Walaupun begitu, pajak yang dikenakan justru merupakan sumbangan tinggi bagi  keberadaan Semarang pada masa lalu.  Dalam bidang perdagangan, orang Tionghua di Semarang memiliki peranan yang besar karena adanya pendapatan masuk ke kas pemerintah Hindia Belanda dari faktor pajak dan cukai.

    Pada masa itu, banyak orang Tionghoa yang menjadi kepala kapal (syahbandar) karena perdagangan ekspor dan impor dilakukan dengan jalur laut Pelabuhan Semarang. Oleh karena banyaknya bandar di kawasan Pecinan, sampai sekarang penamaan bandar bisa di temukan di sekitar kawasan Pecinan yang bernama Jalan Subandaran. Selain berperan dalam pendapatan dari cukai dan pajak, orang Tionghoa juga berperan dalam mendirikan beberapa pabrik-pabrik kecil yang bisa menjadi tempat mata pencaharian penduduk lain.

Sumber bacaan:
  • Ulfah Siregar, 2007, Laksamana Cheng Ho Pembawa Perdamaian, Jakarta, PT Elex Media Komputindo.
  • https://kebudayaan.kemdikbud.go.id, , Masjid Agung Kauman, Bukti Cikal Bakal Perkembangan Islam di Semarang, diunduh 1 Agustus 2022 pukul 11.30 WIB.
  • https://www.kompas.com, 10 Juli 2021, Cheng Ho, Laksamana Muslim Yang Berpengaruh di Indonesia, diunduh 1 Agustus 2022 pukul 11.30 WIB.


0 Komentar

Posting Komentar

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama