Wajah Merauke dari Perspektif Lokal



Oleh Agustinus Mahuze 
(Penggiat di Mahuze Mandiri-Merauke)

Dinamika serta pengetahuan modern menuntut kita untuk mewarisi nilai-nilai tersebut dengan cara adaptif. Siapa yang akan bertanggung untuk menurunkan identitas itu kedalam diri anak-anak ketika mereka ada dalam masa pertumbuhan. Ini menjadi sebuah pekerjaan bersama dari kita untuk membangun aspek kesejarahan yang diwariskan secara baik turun temurun.

Proses Degradasi Informasi Terhadap Peristiwa

Pada tahun 1902 adalah sebuah sejarah mengenai kehadiran pemerintahan Belanda di Tanah Merauke. Apakah kita perlu memahami dengan baik dimana pos polisi tersebut ditempati. (https://portal.merauke.go.id/page/9/sejarah-merauke.html)

Kutipan pada website tersebut, yaitu asal mula nama “Merauke” sebenarnya berasal dari sebuah salah paham yang dilakukan oleh para pendatang pertama. Siapakah para pendatang yang dimaksud kalau berbicara mengenai persoalan kehadiran orang-orang Buton itu terjadi pada tahun-tahun sebelum kehadiran orang Belanda di Merauke karena mereka hadir untuk mencari burung cenderawasih atau burung kuning.

Istilah Pu-anim itu merujuk pada peristiwa ketika orang-orang Buton datang mencari dan menembak burung cenderawasih pada saat itu terdengar bunyi maka istilah untuk pu-anim itu disematkan pada orang yang datang dari luar Merauke. Sebenarnya istilah dasar dari itu Pu berarti bunyi, lalu Anim berarti orang, jadi arti dari Pu-Anim adalah orang yang berbunyi. Ketika para pendatang menanyakan kepada penduduk asli apa nama sebuah perkampungan, mereka menjawab “Maro-ke” yang sebenarnya berarti ini “Sungai Maro”. antara ucapan Maro-ke atau menggunakan ucapan Marokah-ehe. Harus dipertegas kembali mengingat penyebutan tempat biasa menggunakan petunjuk.

Boelars dan Vertenten mencatat kehidupan untuk suku asli yang mendiami wilayah Kota Merauke itu orang Marind. Orang Marind yang menempati wilayah Noari salah satunya. Noari adalah sebuah kampung yang dihuni oleh orang Marind, berjejer ditepi itu dimulai dari Buti, Yawati sampai dengan Kayakai. Kampung dalam sejarah dan perspektif orang Marind harus diperhatikan konteks hubunganya dengan sejarah kota.

Proses Degradasi Informasi Menjadi Pekerjaan Bersama

Kita paham mengenai sejarah lahirnya kota Merauke pada tahun 1902 tetapi informasi tersebut tidak memiliki literatur sejarah yang baik dalam bentuk ornamen serta fitur-fitur mengenai kehidupan kota awal di Merauke beserta aspek kesejarahannya. Kita menjadi a-historis terhadap pertumbuhan kota. Pertumbuhan ketika awal kedatangan missionirs sampai dengan Integrasi pada tahun 1969 sampai dengan sekarang. Sisa-sisa perang Trikora tidak menjadi penanda karena literasi dan pemahaman kita tentang sejarah rendah.

Tempat-tempat sejarah yang merana
 
Tidak ada ruang bagi pengetahuan lokal beserta peninggalannya. Kita tidak memiliki gambaran yang utuh mengenai perkembangan 100 tahun wajah dari Kota ini. Kota Merauke telah berumur lebih dari 100 tahun. Tetapi literatur sejarah mengenai pertumbuhan sejarah tidak diperhatikan dengan baik. Banyak gedung-gedung bersejarah merana karena tidak ada titik tolak bagaimana aspek kesejarahan kota ini dibangun dengan baik. Informasinya berserakan dari pertumbuhan kota yang di bangun oleh Belanda pada tahun 1902 sampai dengan Integrasi pada tahun 1969, sebagai contoh Padi Koembe sebagai bagian produk-produk sejarah kota ini hilang tak bertumpu sebagai contoh dan juga rumah sakit Lepra atau sekarang dikenal dengan Leproseri, kantor pos dan beberapa tempat lainnya.

Kita Perlu Interpretasi

Interpretasi dalam aspek ini meliputi penulisan sejarah ulang mengenai wilayah ini khusus wilayah kota. Kota Merauke beserta aspek kesejarahannya seharusnya ditulis ulang untuk memahami dengan baik bagaimana pusat kehidupan orang yang berada di kota. Pusat pertumbuhan manusia awal yang terdiri dari suku-suku awal yang mendiami wilayah ini sampai dengan pada pertumbuhan sosial budaya. Pemetaan aspek bahasa dan budaya dalam kota khusus untuk orang Marind menjadi penting mengingat dari aspek ini literatur kesejarahan kota dibangun berdasarkan frame lokal yang ada sehingga aspek pengetahuan lokalnya dihargai dengan baik. Pengetahuan akan tutur sejarah, pengetahuan akan topografi wilayah, pengetahuan akan batas-batas menjadi sesuatu yang baik bagi kerangka berpikir kita terhadap orang Marind di kota.

0 Komentar

Posting Komentar

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama