Monarki Sultan Hamengkubuwono ke X Serta Sosial Budaya Kolonial Hindia Belanda di Masyarakat Ngangyokarto Hadiningrat di Era Modern



 
Penulis: Achmad Anton Rizqika Walikrom.,S.Pd
Email : rizkikawalikrom@gmail.com

Abstrak
Perguruan muhammadiyah di Jogjakarta sangat berdiaspora di setiap desa, kecamatan dan kota karena ada salah satu faktor yakni lahirnya organisasi muhammadiyah terletak di kauman yakni sebuah gang yang berdekatan dengan masjid gede yakni sebuah kompleks yang berdekatan dengan alun – alun Jogjakarta, kraton Jogjakarta, serta satu territorial dengan adanya sebuah benteng yang berarsitektur kesultanan ngangyokarto hadiningrat yang berakulturasi dengan hindia – belanda dan terkesan sangat klasik dan estetik.

Kata kunci : Monarki Sultan Hamengkubuwono ke – X dan Sosial – Budaya masyarakat Jogjakarta.

Pendahuluan


Sebuah kompleks percandian yang ada di Jogjakarta memang sangat banyak sebab dengan adanya sebuah kekuasaan dinasti sanjaya dan dinasti syalendra terutama pada waktu mataram hindu – budha sebelum proses islamisasi dan yang menyebabkan bertubahnya mataram yang bercorak asia selatan menuju mataram yang bercorak asia timur tengah yang terpengaruh adanya agama islam serta gelar raja sudah di gantikan dengan gelar sultan dan dari pengaruh itulah masih banyak peradaban – peradaban yang tersisa di bumi mataram seperti halnya kompleks percandian yang berada di kecamatan prambanan kalau di lihat posisi candi prambana terletak di sebelah barat jalan yang berdekatan dengan pasar tradisional prambanan jika kita melihat di belakang pasartepatnya mengarah ke daratan yang lebih tinggi menuju kompleks percandian menuju ke arah timur menuju wisata bukit blangsi di tengah – tengah perjalanan banyak candi – candi peninggalan mataram hindu – budha seperti candi ijo dan keraton ratu boko serta masyarakat di kecamatan prambanan kalau di lihat dari segi mata pencaharian secara mayoritas bercocok tanam, membuka rumah makan, dan warkopologi. Serta rumah masyarakat yang terpengaruh kraton ngayokarto hadiningrata yang berarsitektur joglo dan ini menjadi icon rumah tradisional Jogjakarta serta ciri khas yang lain dari segi bahan baku yang di pakai lebih mencolokan warna coklat sebab lebih mengutamakan kayu serta ukir – ukiran, antevik, ornamentik aksara jawa dan sulur – sulur di setiap pilar – pilar serta perabotan – perabotan rumah tangga yang ada di dalam rumah joglo tersebut.

Metodelogi

Fenomenologi, persamaan pemikiran yang tampak adalah fenomenologi berangkat dari pemahaman manusia secara aktif menginterpretasikan pengalamannya dengan memberikan makna atas sesutu yang lainnya. Interpretasi merupakan proses yang aktif memberi makna atas sesuatu yang di alami manusia. Dengan kata lain, pemahamna adalah tindakan kreatif yaitu tindakan menuju pemaknaan (Agus suprijono, 2016 : 9-20).

Pembahasan dan Hasil Penelitian


Dari segi sosial – ekonomi masyarakat Jogjakarta lebih memprioritaskan egaliter dalam manifestasi sebuah rumah rata – rata tidak ada rumah yang terkesan galanmor serta bergaya hedonisme semua di bawah kekuasaan kraton ngangyokarto hadiningrat dan semua bersifat sederhana kecuali investor asing yang sudah memasuki kota Yogyakarta dengan bergerak di sektor penginapan, rumah makan, butik dan fashion, serta merchandise yang memiliki rumah yang besar dan mewah. Melihat kota Jogjakarta yang menjadi icon yakni gunung merapi yang terletak di kali urang tepatnya di dataran tinggi dan iklimnya yang sangat dingin serta masih aktif proses vulkanik yang menyebabkan tanah warga menjadi subur sebab kontur dalam geologi menjadi baik karena ada abu vulkanik yang berdispora di lereng gunung merapi dan tanaman apa saja yang di budi dayakan akan menjadi tumbuh subur.

Masyarakat Jogjakarta sangat menyenangi dengan kerajinan kayu dalam hal ini lebih memprioritaskan vintage serta pembuatan gazebo khas jawa, rumah joglo, mabel dan jasa desain rumah tradisional jawa karena adanya intervensi khas kraton nganyokarto. Jogjakarta hampir sama dengan bali karena lebih mengutamakan unsur – unsur tradisional serta tidak terpropaganada oleh pengaruh – pengaruh luar atau westerenisasi bukan orang luar negeri yang mempengaruhi tetapi bagaimana orang luar negeri bisa terpengaruh budaya jawa dan bali iniliah keunikan dua provinsi yang masih tetap memepertahankan tradisi – tradisi monarki kesultannan maupun kerajaan sebab sebuah bangsa yang besar tidak akan pernah melupakan insiden – insiden yang sudah berlalu dan itu menjadi legenda dan mendarah daging di hati, pemikiran dan exspresi masyarakat Jogjakarta dan bali.

Menuju kota Jogjakarta kalau zaman dahulu sangatlah jauh hampir menuju ke sana dalam tempo yang cukup lama berkisar secara kalkulasi Sembilan jam sampai ke Jogjakarta karena memakai jalur tradisional atau tidak memakai jalur tol jika di tempuh dengan jalur tol menuju kota Jogjakarta berkisar sampai empat jam jika masuk dari kota sidoarjo menuju kota waru berputar balik ke selatan menuju arah jombang, kertosono, ngajuk, tergalek, madiun, ponorogo, pacitan, magetan, ngawi, dan bisa keluar dua jalur antara kertasura (solo) serta klaten (jogja) nanti melewati boyolali dan sukoharjo menuju kesultanan ngangyokarto hadiningrat daerah istimewa jogjakarta.

Sebelum memasuki kota Yogyakarta (Jogja) pasti melewati kota Surakarta (Solo) dari segi artefak banyak rumah – rumah yang berarsitektur barat terutama bergaya colonial belanda terutama terletak di pemandangan kota solo yakni berdirinya kompleks rumah – rumah tua (hindia – belanda), serta ada sebuah museum yang sangat besar di kota tersebut yakni sebuah bekas perusahaan gula di zaman belanda dan bangunannya terlihat masih sangat kokoh membentang di sisi jalan raya menuju perjalanan kota Yogyakarta kemudian ada lagi sebuah wisata yang masih banyak di jumpai di sisi jalan yakni taman budoyo srimulyo, domangan museum afandy, dan pasar wiyongan. Rata – rata nama desa di ambilkan dari bahasa sangsekerta yakni percampuran bahasa melayu dan india (asia selatan) seperti (trisakti, pancasila, trisula, bhayangkara, dan Negara) serta memakai huruf pallawa sebagai huruf khas masyarakat jawa dan itu terbentang di pelosok perkotaan, kecamatan dan desa di dua karesidenan ini seperti jojakarta dan surakarta. Khas yang lain di tunjukan dari gaya arsitektur gapura, serta masyarakat yang menghargai keindahan, tradisi dan memegang erat adat – istiadat jawa oleh sebab itu masyarakat jogja dan solo lebih memprioritaskan berdikari, swadaya, kreatifitas, explorasi potensi diri dan alam, berniaga serta tempat untuk menyerhanakan diri seperti angkringan dan wedang hik.

Dari segi kendaraan bermotor maupun kendaraan roda empat ada ciri khas tersendiri jika kendaraan bermotor dari kota solo atau Surakarta berplat nomor dengan kode (AD) jika kota Jogjakarta plat nomor yang di gunakan dengan kode (AB) karena kedua karisedenan Yogyakarta dan Surakarta dahulunya menjadi satu karena ada adu domba hindia – belanda yang menguasai nusantara yang menyebabkan terpisahnya kedua provinsi tersebut.

Di dalam sebuah desa ada sebuah keunikan tersendiri sebab di sebuah desa ini masyarakatnya memproduksi gerabah serta konsep desanya yang sangat tradisional serta menghargai hand made (hasil karya tangan sendiri dengan tradisional tanpa mengunakan teknologi modern) dan desa ini di rekontruksi bergaya mataram kuno yakni mataram hindu – budha serta di kecamatan – kecamatan yang lain bagaimana dominasi arsitektur bergaya mataram islam secara keseluruhan. Desa ini di sebut dengan desa jogonegaran dan pada waktu masuk sudah di sambut gapura dengan duara pala serta kara makara khas percandian jawa tengah yang bermuka menyenangkan tidak seperti di jawa timur arca mengesankan mimik yang garang atau emosional.

Jogjakarta termasyhur karena juga termasuk kota fashion dari kaos oleh – olehnya yang murah serta berdesain tradisional lebih menunjukan gambar – gambar kondisi sosial – agama, sosial – budaya, dan sosial – ekonomi seperti sablon khas icon Jogjakarta yakni museum tugu, kraton ngangyokarto hadiningrat, masjid gede Jogjakarta, candi prambanan, candi Borobudur, kompleks keratin ratu book, candi ijo, becak tradisional di malioboro, simbol keratin yoyakarta, onthel Jogjakarta, dan pengamen tradisional di simpang empat serta di tempat wisata seperti di malioboro penghibur wisatawan asing dan domestik serta para pelukis jalanan yang sangat banyak terutama seni rupa dll.

Jalan malioboro di zaman dahulu di penuhi dengan bungga atau sebua tempat para pahlawan dalam bahasa yang lain mengatakan malioboro atau maliabara yang artinya karangan bungga karena di sebelah utara ada sebuah pasar kembang yang termasyhur di Jogjakarta karena sebagai tempat porstitusi atau lokalisasi. Menurut salah satu jendral dari inggris mengatakan malioboro hampir sama dengan benteng malborg yang ada di eropa terutama di inggris yakni bernama jalan malbork tetapi lidah orang jawa tidak bisa menyebutkan malbork tetapi di sebuat malioboro atau molloboro yang berarti “mulayne segoro” (berarti kemuliaan hidup atau lingkup perhatian yang ramai di kunjungi orang banyak) oleh sebab itulah hingga hari ini di kenal sebagai malioboro yang ramai dengan adanya perniagaan tradisional seperti tekstil, butik, blangkon, ornamentik, merchandise, makanan, pasar tradisonal, komunitas bencak tradisional, serta kerata kencana khas kesultanan Jogjakarta.

Kampung jeladran adalah sebuah kampong yang di mana di huni oleh abdi dalem kesultanan nganyokarto hadiningrat selaijn itu juga ada abdi keratin yang lainya yang bertugas sebagai ahli batu nisan, kecihan, petindan (penarik pajak kraton), terutama di zaman sri sultan hamengkubuwono ke – 9 terutama daerah utara pasar bringinharjo yakni yang bernama pariwotaman atau pariwitomo yakni banyak abdi dalem keraton ngangyokarto.

Kebanyakan di daerah pegunungan mengutamakan bercocok tanam atau pertanian sawah yakni dengan berbudidaya padi, jagung, padi dago (sebuah padi yang tidak perlu air dan padinya kalau sudah di proses bukan berwarna putih tetapi bewarna seperti padi merah) tanpa membutuhkan irigasi dan hampir mirip dengan proses penanaman jagung serta kalau padi biasa membutuhkan irigasi sebab jika tidak ada air akan menyebabkan gagal panen. Di daerah Jogjakarta terutama di derah pegunungan padi menunggu sumber air dari hujan serta dari sumber air dari pegunungan serta sungai – sungai kecil terutama di keluruhan potorono, serta di kelurahan tersebut banyak pesantren – pesantren serta sekolah boarding school terutama milik perguruan muhaammdiyah yang sudah masuk di pelosok – pelosok desa karena mayoritas masayarakat jogja di pengaruhi oleh kyai haji achmad dahlan yang mendirikan organisasi muhammadiyah di tahun 1912 dan keluarga yang sebagai penggiat pengajaran npesantren yang terletak di kauman yakni di samping masjid gede serta ada sebuah langgar kedoel yang di masukkan oleh pemerintah daerah istimewa Yogyakarta sebagai icon wisata religius dan pendidikan.

Jogjakarta sudah terintervensi seperti halnya kuba masjid atau musollah yang ada di daerah jogja rata – rata berarsitektur jawa terutama di daerah mantub dan bantul serta di setiap simpang tiga atau simpang empat pasti ada rambu – rambu lalu lintas atau di sebut dengan “bangjo” dan suasana sangat macet serta ada sebuah kampung yang bernama dembalak sari sebuah kampung penghasil kayu dan terkenal dengan kampung kaos.

Batik di Jogjakarta memilki warna khas di antara lain hitam (menunjukan warna hitam), putih (menunjukkan warna langit), dan coklat (warna pantai atau pesisir utara), batik nuansa tionghoa, pekalaongan identik dengan warna cerah, batik sekolah, batik instasi, batik untuk upacara kematian, upacara tahunan yakni upacara sidomukti (harapan dan do’a serta kasih). Berbeda dengan di kota Surakarta lebih identic dengan upacara sekaten yakni yang biasa di gelar di setiap tahun di kraton Surakarta tepat di alun – alun kota Surakarta yang berdekatan dengan pasar klewer satu kompleks dengan keraton serta memandukan alat – alat pusaka yang ada di kraton Surakarta.

Sultan hameng kubuono ke – X memecah belah Jogjakarta menjadi dua yakni paku alam kasuhunan, secara kronologis di tahun 1755 resmi berdiri mangku bumi (sri sultan hameng kubuono ke – I merupakan bagian dengan nama serta gelar terlengkap yakni “Kang dalem engkang sinuhun sultan senopati ing arugo abdurahman kalimatu yono fatahulloh syeh syahidin sri sultan” yang berarti kali di artikan dalam bahasa Indonesia yakni “yang mulia yang memangku sumber daya alam dan sumber daya manusia serta keseimbangannya pemimpin perang dan komandan perang pemimpin serta pemersatu agama yang ada di Jogjakarta serta raja laki – laki dan pemimpin agama” kerajaan yang berdiri sendiri yakni sri sultan hameng kubuono ke – 9 di tahun 1945, terutama Jogjakarta menjadi daerah istimewa kare ada presiden pertama kali yakni ir.soekarno memberikan piagam penetapan monarki ngangyokarto yang bergabung dengan NKRI oleh sebab itulah Jogjakarta termasuk DIY (daerah istimewa Yogyakarta).

Jogjakarta sebagai pusat batik, kota para pelajar, kota gudhek, kota bakpia, kota tera sejak tahun 1948. Munculnya organisasi muhammadiyah di iringi dengan adanya sebuah tamana pendidikan yang palaing termasyhur di era itu yakni “taman siswa” dan itu memicu sultan hameng kubuono ke – 9 untuk menghibahkan tanahnya demi pendidikan terus tumbuh di bumi mataram atau nganyokarto hadiningrat terutama di tahun 1946 yang hari ini di sebut dengan kompleks perguruan tinggi universitas gadjah mada yang di apit oleh dua kampus yakni universitas negeri Yogyakarta dan universitas muhammadiyah Jogjakarta, unyil atau ikip, uin sunan kalijaga, institute seni Indonesia, upn, universitas pembangunan nasional, al, universitas islam Indonesia, akademi angkatan udara, universitas achamad dahlan Jogjakarta dan universiatas atmajaya.

Secara teritorial atau administrativ daerah istimewa Jogjakarta di bagi menjadi empat kabupaten yakni kabupaten gunug kidul (sosial – ekonomi meningkat karena banyaknya wisata pantai seperti pantai drini salah satunya), kabupaten bantul, kabupaten sleman dan kabupaten kulon progo (kabupaten termiskin) di keempat kabupaten di atas mempunyai destinasi masing – masing di antara lain bandara internasional air port serta masih banyak lagi destinasi yang lainya yang perlu di explore.

Kabupaten gunung kidul (terutama pantai selatan) banyak pegunungan di sebut juga dengan bahasa jawa “daksinaga bumi karta” yang berarti kalau di terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia “gunung, daratan di sebalah selatan”. Destinasi yang di negoisasikan yakni (gua pindul, gunung kidul, jalur pendakian bagi pecinta alam atau gunung, kota topeng kayu, konservasi hutan jati, komoditas tebu, selokan – selokan atau irigasi – irigasi kecil banyak membentang di gubung kidul (kali suci), padi dogo (padi yang berwarna kemarahan) yang tumbuh di tanah perswahan lahan kering di gunung kidul, penginapan, daerah yang tandus dan gersang banyak tumbuh kualitas kayu yang baik (hutan jati), banyak destinasi pantai, daerah argraris sawah berbentuk teras siring, banyak rute perjalanan yang berluku akaibat daratan yang tinggi sejajar dengan evolusi alama pasca vulkanik.

Daerah yang terkenal di kabupaten gunung kidul sebagai pengahasil hutan jati dan hutan pinus terbaik di atara lain desa griyowono, penger, utat, mbuluk dan krakal serta menawarkan makanna khas yang sangat extrim seperti sebuah cemilan atau gorengan yakni keripik crispy belalang (rasanya seperti udang yang di goreng yang sangat kering dan gurih dan tidak terasa kalau itu adalah belalang yang paling terpenting experiment dahulu dan boleh di explore), gorengan abi crispy yakni seperti sea food berwujud anak udang yang sangat kecil, serta makanan khas yang lainya yang berbahan dari singkong dan ubi – ubian yakni gatot, dan tiwul yang sangat mengugah selera untuk mencicipinya.

Masyarakat jogjakarta identik dengan kejawen atau masyarakat abangan yakni perpaduan spiritualisme jawa atau jawanisme dengan hindu – budha. Seperti halnya sebuah tradisi di Jogjakarta yang sangat kental dengan tradisi di kraton nganyokarto hadiningrat karena sebelum adanya proses islamisasi kota Jogjakarta masih menganut agama hindu – budha mataram kuno oleh sebab itulah adat – istiadat masih di pegang teguh oleh masyarakat Jogjakarta dan sangat sakral apalagi pada saat memperingati atau upacara – upacara islam yang berakulturasi dengan kejawen mewujudkan sebuah budaya yang berbeda tetapi tidak meninggalkan tradisi lama inilah salah satu bentuk perwujutan organisasi muhammadiyah dating untuk merevolusi animism, dinamisme, totoemisme dan politeisme serta singkretisme menuju monoteisme yang di pelopori kh.achmad dahlan atau achmad darwis (1912) yang terletak di daerah kauman yakni sebuah gang kecil yang menjadi cikal bakal organisasi kemasyarakatan yang bergerak di bidang agama, pendidikan, budaya dan kesehatan serta pemurnian ajaran islam yang tidak terintervensi asia selatan (india).

Tradisi kejawen di Jogjakarta masih tetap berjalan seperti haknya selametan, khitanan, tujuh bulanan, tradisi “ayam ingkung” yang berarti “mangkung atau berserah diri”, peran “wali songgo” atau perwakilan Sembilan wali (penyebar agama islam dengan jalur dakwah tertutup maupun terang – terangan dengan metode dan media yang di miliki masing – masing utusan) sangat penting dalam proses penyebaran agama islam di pesisir pulau jawa (maritim) mulai dari kota Surabaya, gersik, lamongan, tuban, samapai ke seluruh pulau jawa termasuk jawa timur, jawa tengah dan jawa barat serta daerah – daerah yang lainya di seluruh nusantara.

Simbol – symbol dalam ritual jawa di masyarakat jojakarta sangat identik dengan sesaji yang ada makna tersendiri seperti “ngetan” yang berarti (koto’an) atau permohonan, kue “apem” (af’wan yang berarti mohon ampun) yang biasa bewarna putih di setiap acara selametan pasti ada dan sudah menjadi tradisi masyarakat jawa yang terbuat dari beras putih, uang koin, sulam, tumpeng dalam arti yang lain di maknakan “temuju pangeran atau menuju alas yang berarti tumpang lampah hati” yakni meuju tuhan yang maha esa atau allah swt.

Dalam bahasa khas Jogjakarta mayoritas memakai bahasa jawa dan bahasa jawa di bagi menjadi tiga yakni “ngoko, kromo, dan kromo inggil” dan berbeda bahasa jawa di jawa timur dengan bahasa jawa di jawa tengah kalau jawa timur (maritim) identik bahasanya kasar sedangkan jawa tengah identik dengan bahasa yang halus (argraris) karena faktor lingkungan mempengaruhi di jawa tengah banyak dataran tinggi dan masyarakatnya bercocok tanam sedangakan di jawa timur lebih mengutamakan nelayan, meramu ikan di sungai, laut dan segoro (pertemuan air payau dan air asin). Dalam nama jawa sering ada nama yang berkaitan dengan istilah “su” yang berarti (baik) dan kota Jogjakarta banyak menyuguhkan galeri – galeri fashion dan food seperti kaos oblong, bakpia (sebuah nama kampung atau batasan dalam bahasa jawa patok’an yang berarti pertanda), serta ada sebuah masjid yang lama di kota Jogjakarta selain masjid gede yakni di tahun 1952 ada sebuah masjid syuhada terletak di kompleks pemukiman hindia – belanda (kolonial) karena masjid tersebut hadiah dari pemerintahan belanda pada waktu itu.

Di era sultan hameng kubuono ke – 9 terutama di daerah malioboro serta kampung pathuk di beri kekuasaan berdagang bagi kalangan minoritas etnies tionghoa serta di suru membuat pemukiman serta ruko (rumah dan toko) untuk berwira usaha demi menyambung sebuah kehidupa di negeri orang lain atau Indonesia. Secara historis bakpia pada zaman dahulu berisi daging tetapi semakin hari harga daging semakin mahal maka isi bakpia tersebut di ganti dengan kacang – kacangan seperti (kacang hijau).

Pasar kembang atau “sarkem” terkenal dengan sebuah praktik asusila serta hiburan malam karena itu di sebut kota kembang atau banyak wanita – wannita penghibur di malam hari yang menghibur para tamu hidung belang sejak zaman kolonial hindia – belanda (londo).

Jogjakarta terkenal dengan lokomotifnya dan stasiun kereta uap yang sangat tradisional seperti stasiun tugu jogjakarata dan itu berbagai macam expedisi untuk lokomotifnya terutama di wilayah Jogjakarta yang bisa menuju kabupaten yang lain seperti kabupaten kulon progo, kabupaten bantul, kabupaten gunung kidul dan kabupaten sleman. Serta keunikan di kampung pathuk ada sebuah kode home industry contok “bakpia pathuk 25” yaitu suatu kode yang ada di pemukiman tionghoa tersebut yang sudah di beri kebebsan berdagang oleh sultan hameng kubuono ke – 9 dan malioboro dan kampung pathuk adalah teritorialnya selain itu di wilayah lain tidak boleh membuka pemukiman dan usaha sebab wilayah lain di dominasi pribumi Jogjakarta.

Mitologi masyarakat jogja tentang makanan yang di buat selalu rasanya manis karena sri sultan hameng kubuono ke – VII adalah sultan terkaya di daerah jawa tengah terutama di tahun 1918 – 1919 di dirikan sebuah bangunan pabrik gula (industrialisasi) di kota Jogjakarta serta dengan adanya komoditas gula inilah masyarakat jogja menggantikan micin dengan gula secara realitas masyarakat jogja suka dengan masakan yang rasanya manis serta di buwat pengawet alami tanpa kimia seperti halnya bakpia, makanan yang ada di angkringan atau “ngangkring” dalam bahasa jawa “cangkruk” dalam arti bersantai (sebuah makanan khas darti organ – organ ayam. Kepala, ceker,dan sayap yang di bacem (ukep atau di uapkan) atau di maniskan yang berwarna sampai coklat terus di panaskan dengan di panggang seperti di sate serta ada sebuah batang – batang dari bambu yang di tusukkan sedemikian rupa sehingga menjadi ciri khas tersendiri untuk warkopologi khas kota jogja), nasi kucing, “owel” (pisang goreng yang di kasih misisi dan susu serta di panggang dan pilah – pilah) serta es yang sangat segar dan unik yakni es teh Tarik yakni kombinasi teh dan Susu sapi yang bewarna putih serta tidak kala menariknya ada sebuah kopi yang di kolaborasi dengan arang dan ini menjadi kopi khas daerah jogjakarat atau di sebut dengn “kopi jos” menikmati kota tua Jogjakarta dengan berbagai macam menu kuliner yang unik serta mengesankan itulah suku jawa.

Sultan identik dengan sebuah symbol atau lambing terutama pakaian atau batik yang boleh di pakai keluarga keraton yakni “parak rusa barong” batik ini sangat skaral dan masayarakat biasa tidak di perbolehkan untuk memakainya terutama di kekaisaran sri sultan hameng kubuono ke – 9 yang sangat dekat dengan rakyat dalam arti menjujung tinggi demonstrasi serta toleransi.

Jogjakarta memang terkenal dengan keunikannya kemabali lagi berbicara tentang food ada sebuah sate yang sangat termasyhur selain jajanan tusuk sate yang ada di angkringan yakni sate “kletek” yang berarti terbuat dari ruji sepeda onthel serta ujungnya di lancipkan untuk bisa menusuk daging sate kambing muda “cempe” terutama di daerah imogiri karena memakan sate ini ada sebuah ciri khas jika di makan “gigi” dan besi bergesekan yang akan berbunyi “kletek” dalam bahasa jawa selain itu juga ada sate jamur (jejamuran) yang semua berbahan jamur dan sangat original serta (tongseng yang bahannya terbuat dari daging “asu” atau anjing).

Jogjakarta menjadi icon seni yang sangat tinggi banyak bermunculan “hand made” seperti halnya (seni dongkelan pohon bambu) serta banyak pasar tradisional yang menyebar luas di jogjakarata seperi pasar niten, pasar winongo, kasongan, gaslarong, dan krebet, museum chocolate dan desa kasongan salah satu desa penghasil gerabah yang sangat estetik dan mayoritas menjadi sebuah merchandise (oleh – oleh) khas kampung kasongan sererta yang di komersilkan beraneka ragam gerabah dan rata – rata terbuat dari tanah liat yang di bakar terutama tempat produksi yang berdekatan “di belakang rumah serta banyak bahan bahan yang di pakai untuk membakar tembikar sebelum berwarna merah bata, dengan sisa padi yang sudah di panen terutama batang nya atau yang di sebut dengan jerami “damen” dengan galeri untuk berjualan.

Histori nasi “gudeg” secara local wisdom yang berarti (terbuat dari sebuah buah nagka yang muda “kemampo” atau yang di sebut dengan “tewel” di era hindia – belanda (kompeni) sering memakan daging dan kehidupannya elitis tetapi pada waktu mengalami kesulitan ekonomi daging sulit di beli dan di dapatkan oleh sebab itu ada sebuah “jongos” atau budak (pembantu) yang menginovasi buah nangka muda (di olah atau di masak sedemikan rupa) menjadi sebuah daging dalam arti dari segi rasanya dari sinilah majikan (orang belanda) mengatakan kepada pembantu tersebut rasanya ini sangat enak (juminten) adalah nama dari budak tersebut. Sebuah majikan tersebut mengatakan dalam bahasa belanda “good dek” yang berarti “gendut atau gemuk” yang berarti (enak ndut) dari situlah sejarah nama nasi “gudeg” mulai termasyhur di kota jogjakrata.

Nama – nama khas di daerah jawa lebih mengutamakan bahasa asia selatan (india) seperti “su” yang berarti (baik), “purworejo” yakni secara arti (enak), “karno” yang bermakana (telingga), “batara surya” yang berarti (pendengar yang baik), “harto” yang berarti (kekayaan yang berkah), “susilo” yang berarti (sikap yang baik), kalau identik nama perepuan di suku jawa lebih dengan sebutan “legiyem” atau akhiran nama “yem” yang berarti “ayem” yakni jika di artikan dalam bahasa Indonesia (dingin, tenang atau rilex) tetapi jika laki – laki sering di akhiri dengan “jo” yang berarti (laki – laki), “paijo” atau (paing Harjo yang berarti makmur).

Ibu kota sleman di daerah Jogjakarta memang sebuah daerah yang sangat kaya raya dan nama kabupaten tersebut di ambilkan dari sebuah nama tokoh agama terutama menjadi kyai di suatu kesultanan yang termasyhur di daerah istimewah jogjkarta di era mataram islam yang dahulunya mataram bercorak agama (hindu – budha) sebelum dating proses islamisasi, di dalam sebauah prasasti atau petilasan “saliman” untuk membuktikan sejarah nama ”sleman”. Seorang kyai yang berasal dari kabupaten “sleman” menurut mitologi masyarakat jogjakarat tungangannya adalah sebuah hewan yang sangat besar yakni “gajah” sebagai akomodasi kyai “sleman” tersebut. Daerah sleman sangat terkenal dengan sebuah buah yang berwarna coklat serta bersisik dan berkulit keras tetapi rasanya sangat manis dan enak yakni buah “salak pondo” khas Jogjakarta (Fathin Furoidha, 2020).

Penutup dan Saran


Kota jogjkarta adalah sebuah kota tua yang di mana menjadi sebuah saksi kelam di era penjajahan kolonial belanda beserta sisa – sisa peradabannya (artefak atau hasil difusi) seiring dengan perkembangan kemajuan sebuah kebudayaan serta serta teknologi yang terus berkembang mengikuti revolusi industry (4.0) sampai dengan revolusi industry (5.0) dan mempropaganda behavioristik (kebiasaan) seperti halnya (dunia malam dalam arti vandalism (masyarakat, pelajar, mahasiswa, yang terpengaruh westernisasi jadi menunukan kesan tidak etis karena sangat menganggu masyarakat awamyang berprilaku menjujung tinggi adat- istiadat orang jawa dalam hal kesopanan atau atitudes) serta warkopologi, dan pengamen jalanan). Icon kota jogjakarata selain budayanya yang bagus tetapi menyimpan sebuah fenomena alam yang mempesona seperti gunung merapi yang sering erupsi dan termasuk urutan gunung teraktif di dunia secara kronologis erupsi di jogjakarata terjadi pada tahun (2006, 2010, 2013, 2016, 2018 dan 2020) selama lima s/d empat tahun sekali tetapi ada sisi postitivnya dengan adanya vulkanik menjadi sebuah bahan untuk membuat “property” (semen), “geologi” (menjadi subur), serta ada salah satu penjaga yang di tugaskan untuk mengkonservasi sebuah gunung tersebut dan misi ini langsung dari sri sultan hameng kubuono ke – X terutama di daerah cangkringan sebut saja “mbah marijan” sebuah abdi dalem gunung atau pemangku gunung merapi dan secara missionary tidak di perbolehkan untuk turun gunung sampai “mbah marujan” meninggal dunia karena terkena vulkanik gunung merapi, sebab “mbah marijan” sangat amanah untuk mengemban pesan sri sultan hamengkubuono ke – X.

Referensi

Agus Suprijono, 2016, Model – model Pembelajaran Emansipatoris, Yogyakarta, Pustaka Pelajar.

Sumber Interview

Fathin Furoidha, 2020, Ekspedisi Daerah Istimiwa Ngangyokarto Hadiningrat serta Perkembangan Sosial – Buadayanya di era Moderenisme, Sidoarjo, F & A Press.

0 Komentar

Posting Komentar

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama