Catatan Penelusuran Bongpay Mijen





Oleh : Pippo Agosto


Hari Minggu, tanggal 6 Februari 2022 sesudah selesai menemani anak-anak di Sanggar Rumah Bocah saya menuju Mijen, Semarang. Saya sudah berjanji sehari sebelumnya akan menemui Pak Roy Permana di Kantor Kelurahan Mijen pukul 12.00 WIB. Saya sampai ke tempat itu pukul 11.58 WIB. Disitu Pak Roy sudah menunggu bersama seorang dari Babinkamtibmas. Maksud saya datang ke Mijen adalah untuk menindaklanjuti temuan batu nisan Pak Roy di dalam hutan jati pada tanggal 1 Februari 2022. Karena petugas Babinkamtibmas ada keperluan lain, saya dan Pak Roy langsung menuju lokasi penemuan. 

Pada saat saya sampai di lokasi, batu nisan yang tempo hari dibalikkan oleh Pak Roy sudah dikembalikan pada posisi semula yang tertelungkup. Kemudian oleh kami berdua batu nisan dibalikkan kembali 90 derajat. Lalu saya melakukan pengukuran. Hasilnya tinggi atau panjang batu nisan adalah 105 cm, lebar 65 cm, dan tebal 15 cm. Ada 2 batu nisan, namun yang satunya lagi tidak berhasil kami balikkan. Jadi kami tidak tahu apa isi tulisan pada batu nisan tersebut. Sebelum meninggalkan lokasi, batu nisan yang kami balikkan, dikembalikan pada posisi semula yang tertelungkup, walaupun tidak 100 persen persis posisi awal. Lalu kami berkeliling mencari narasumber yang kemungkinan besar mengetahui sejarah bagaimana batu nisan itu bisa ada di tengah hutan jati. Warga-warga senior kami tanyai, beruntung kami bertemu warga senior yang mengetahui hal ikhwal batu nisan itu.

Hari Rabu, 9 Februari 2022, saya bersama Bram Luska dan Bu Ikadewi Retnosari menuju Mijen, sebelum ke Boja, Kendal. Kami sudah memberi tahu Pak Roy, bahwa kami akan datang. Kami langsung ke lokasi. Batu nisan yang hari Minggu saya amati, kami balikkan lagi 90 derajat. Sesudah itu saya dan Bram mencoba membalikkan batu nisan kedua. Perlu usaha ekstra keras untuk melakukannya karena tanah lembek dan licin tidak bisa jadi pijakan kaki yang kokoh. Meskipun dengan susah payah akhirnya upaya kami membuahkan hasil juga. Batu nisan kedua berhasil kami balikkan. Tulisan batu nisan kedua bertarikh sama, yakni tahun Babi Air, tahun ke-12 masa Binkok (1923 M), bulan ke-10 Imlek. Sedangkan marga mendiang laki-laki adalah Zēng (曾), bernama Hànmò (翰墨). 

Mendiang perempuan bermarga Chén (陳) bernama Shēnniáng (深娘). Tempat asal dari Bǎoshān (寶山). Berdasarkan hasil penelusuran saya pada warga senior hari Minggu lalu, semua jenazah yang namanya ditulis pada batu nisan dimakamkan di Bong Meteseh, Boja, bukan di Mijen. Mengapa batu nisan tidak dibawa serta ke Boja? Menurut warga tersebut karena pada masa itu mobil yang dipakai tidak kuat mengangkat dan mengantarkan ke Boja. Jadi kedua batu nisan ditinggal di rumah, lalu oleh warga sekitar atas izin keluarga menjadikan kedua batu nisan sebagai papan penggilasan cucian di sendang. Namun demikian seiring perkembangan zaman, dengan adanya air dari PDAM atau sumur artesis dan dimilikinya mesin cuci oleh sebagian besar warga, kebiasaan mencuci di sendang itu sudah lama ditinggal. Maka sepasang batu nisan itu pun terlupakan, sampai ditemukan kembali oleh Pak Roy.











Setelah membuat beberapa catatan, kami meninggalkan lokasi menuju Boja. Sesampai di Meteseh, kami menyusuri lebih dahulu makam Belanda yang letaknya di tepi jalan raya Meteseh, Boja. Sesudah mendokumentasikannya, saya, Bram Luska, dan Bu Ikadewi Retnosari melanjutkan blusukan ke makam Tionghoa (bong) yang letaknya berdekatan dengan area makam Belanda. Hanya terpisah seruas jalan kampung. Bong Meteseh ini cukup unik karena arah hadap bong tidak seragam. Ada yang menghadap timur, utara, barat, selatan, tenggara, baratdaya. Tarikh batu nisan (bongpay) tertua yang kami lihat adalah tahun ke-33 masa Guangxu (1907 M). Pasti ada bongpay yang lebih tua tarikhnya dibanding itu, akan tetapi belum ketemu.

Di area bong ini terdapat ratusan makam dalam berbagai kondisi. Ada yang terawat baik, ada yang tak terurus, ada bong yang bongpay-nya masih bagus, ada pula yang bong tanpa bongpay. Sebelum kami beranjak meninggalkan tempat itu, kami diberi tahu oleh Bu Suyadi (istri juru kunci) ada makam yang tua, tapi tinggal sisa dinding lengkungnya. Sisa itu pun tidak melengkung penuh. Secuil saja, seperti terlihat pada foto terakhir. Bahan yang dipakai untuk membuat dinding terlihat berbeda dari bong lainnya. Terlihat seperti campuran adonan batu kapur/gamping dan pasir (khas) pada bong kuno. Altar untuk dewa hok sin pun bagus-bagus. Banyak yang dibuat seperti rumah-rumahan. Bahkan ada bagian bawah atap rumah-rumahan itu yang dipakai semut bersarang. Jenis semut hitam berperut abu-abu yang sarangnya terbuat dari anyaman rumput kering.

Ketika kami bertanya dari mana saja mereka yang dimakamkan kepada Bu Suyadi dan Bu Atun, kami mendapat jawaban, bahwa yang dimakamkan selain dari Kendal, juga dari Kudus, Semarang, Kaliwungu, Cepiring, dan Salatiga. Besar kemungkinan mereka adalah yang dilahirkan atau punya leluhur di Boja. Marga yang banyak dijumpai di bong Meteseh adalah Go (吳) dan Ong (王). Marga-marga lain seperti Liem (林), Kwee (郭), Siauw (萧), Oei (黄), Tan (陳), The (鄭), Thio (張), dan Yap (葉) juga ada, namun tidak dominan.



Demikian hasil blusukan ke Bong Meteseh, Boja yang kami dapatkan.

0 Komentar

Posting Komentar

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama