Beranda 6: Kata Nusantara dalam Kebudayaan Indonesia Kuno

Tangkapan layar materi Nusantara | Sumber: Prof Agus Aris Munandar

Profesor Agus Aris Munandar, Guru Besar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia pada acara Beranda Sigarda yang keenam memaparkan tentang konsep Nusantara dalam kebudayaan Indonesia Kuno. Ia memaparkan tentang bukti-bukti historis dan arkeologi yang merujuk pada kata dan konsep Nusantara dari masa ke masa, khususnya pada masa Klasik (Hindu-Buddha).


Sumber-sumber sejarah yang menyebutkan tentang Nusantara didapati pada Prasasti Mula Malurung, Amoghapasa, dan Camundi yang berasal dari masa Kerajaan Singhasari, serta kakawin Negara Kertagama dan Teks Pararaton yang berasal dari masa Kerajaan Majapahit.


Konsep Nusantara pada masa kuno secara umum memiliki arti wilayah-wilayah di berbagai Kepulauan Indonesia. Adapun batas-batas wilayah nusantara dari masa ke masa memiliki perbedaan yang cenderung semakin meluas.


Prasasti Mula Malurung yang dikeluarkan Raja muda (yuwaraja) Kertanegara atas seizin ayahnya, Raja Wisnuwarddhana dari Singhasari pada tahun 1255 Masehi menguraikan dua hal penting. Pertama, menyiratkan bahwa cita-cita penyatuan Nusantara telah lahir sejak masa pemerintahan Raja Wisnuwarddhana yang dianggap sebagai “Payung Nusantara”.


Cita-cita tersebut mulai diimplementasikan oleh Kertanegara ketika mewarisi takhta dari ayahnya. Ia mulai menyatukan kerajaan-kerajaan di luar Jawa sebagai satu-kesatuan. Jalinan persahabatan antara Jawa dengan Sumatra digagas pada tahun 1275 melalui pengiriman arca Amoghapasa Lokeswara dengan segenap pembesar Singhasari kepada Raja Malayu bernama Mauliwarmadewa. Pada lapik arca Amoghapasa tersebut dipahatkan prasasti Amoghapasa yang berisi surat pengantar jalinan persahabatan penguasa Jawa dengan Sumatra. Adapun penyatuan Bali dengan Jawa dilakukan pada tahun 1282 berdasarkan uraian Kakawin Negara Kertagama.


Upaya penyatuan tersebut pada dasarnya merupakan upaya Raja Kertanegara untuk membendung invasi Yuan terhadap Nusantara. Pada masa tersebut, Raja Kubilai Khan telah berupaya menundukkan penguasa Asia Timur dan Asia Tenggara Daratan. Upaya penundukkan kekuasaan di Nusantara dilakukan Kubilai Khan tahun 1289 melalui utusannya bernama Meng Khi, namun tidak berhasil.


Kedua, memberikan pandangan bahwa batas-batas Nusantara pada masa kuno tidak paten. Pemaknaan Nusantara pada masa pemerintahan Raja Wisnuwarddhana sebatas Jawa dan Madura berdasarkan uraian prasasti Mula-Malurung. Adapun batas-batas Nusantara (memiliki sebutan lain pula sebagai Digantara dalam uraian Negara Kertagama) pada masa pemerintahan Kertanegara meluas menjadi Jawa, Malayu (Sumatra), Bali, Pahang (Semenanjung Melayu), Gurun (antara Gorom di Maluku atau Gerung di Lombok), Bakulapura (Kalimantan), dan Madura.


Nusantara pada masa Majapahit memiliki batas wilayah yang lebih luas daripada masa Singhasari. Munandar berdasarkan uraian kitab Negara Kertagama pupuh 13, 15, dan 83 menafsirkan bahwa nusantara pada masa Majapahit bermakna dua hal. Pertama, nusantara merupakan batas kekuasaan Majapahit. Tafsir ini dipertegas dengan uraian daftar wilayah vassal Majapahit yang terbentang dari Semenanjung Malaya hingga Papua.


Kedua, nusantara menjadi batas ruang hubungan antara penguasa Majapahit dengan penguasa luar. Tafsir kedua ini melahirkan batasan ruang-ruang hubungan kekuasaan menjadi tiga kelompok, yaitu ruang utama, ruang madya, dan ruang nista. Ruang utama merupakan ruang hubungan penguasa Majapahit dengan wilayah vassalnya. Ruang madya merupakan ruang hubungan penguasa Majapahit dengan Mitreka Satata (negara sahabat seperti Birma, Thailand, dan Kamboja). Ruang nista merupakan ruang hubungan penguasa Majapahit dengan Anyadesa (negara asing yang jauh seperti Cina dan India).


Adapun penggagas cita-cita persatuan Nusantara pada masa Majapahit adalah Gajah Mada, patih Majapahit sejak pemerintahan Ratu Tribhuwana hingga Hayam Wuruk. Kitab Pararaton (digubah sekitar abad ke-15-16 M) menguraikan sumpah Gajah Mada untuk menyatukan wilayah di Nusantara sebagai satu-kesatuan di bawah panji Majapahit.


Nusantara pada masa modern menurut Munandar mengalami pergeseran makna. Nusantara bukan lagi sebagai penanda batas-batas wilayah kekuasaan kerajaan, melainkan sebagai spirit persatuan negara Indonesia. Muhammad Yamin, Ki Hajar Dewantara, Sukarno, dan sejumlah tokoh lainnya menggaungkan semangat persatuan Indonesia untuk memerdekakan diri dari belenggu penjajahan bangsa asing melalui gagasan penyatuan Nusantara yang dipraktikkan Gajah Mada.


Setelah Indonesia merdeka, wawasan nusantara masih digunakan masyarakat dan para ahli untuk menandai wilayah yang memiliki rumpun budaya hampir sama, meliputi wilayah Indonesia, Malaysia, Singapura, Brunei, dan Filipina yang dahulunya diduga kuat merupakan vassal Majapahit. Baru-baru ini, nusantara mengalami pergeseran makna lagi karena akan memiliki makna sebagai calon nama Ibu Kota Indonesia baru yang berlokasi di Kalimantan Timur. (Jusuf).

0 Komentar

Posting Komentar

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama