Beranda 6: Nusantara - Nama Ibu Kota?

Ilustrasi Ibu Kota Negara Indonesia yang baru | Sumber: nasional.kontan.co.id

Profesor Wasino, Guru Besar Fakultas Ilmu-ilmu Sosial Universitas Negeri Semarang dalam acara Beranda Sigarda Indonesia keenam membagikan materi mengenai rencana penamaan Ibu Kota Indonesia sebagai Nusantara dalam kaca mata sejarah.

Istilah Nusantara telah hadir di Indonesia sejak masa kerajaan Hindu-Buddha. Naskah Negara Kertagama dan Pararaton dari masa Majapahit dan Kidung Sunda dari Bali menyebut istilah Nusantara sebagai wilayah lain di luar Pulau Jawa. Hal itu sesuai dengan etimologi dari Nusantara dalam Kamus Jawa Kuno karya P.J. Zoetmulder dan S.O. Robson, sebagai nusa (pulau) dan antara (lainnya). Berbeda dengan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), istilah nusantara dimaknai sebagai sebutan (nama) bagi seluruh wilayah kepulauan Indonesia.

Perbedaan makna nusantara pada masa kuno (kerajaan Hindu-Buddha) dan modern (masa menjelang hingga paska-kemerdekaan) didasarkan atas konsep identitas. Masyarakat Indonesia perlu mencari identitas yang berbeda dengan identitas “Hindia Belanda” yang disematkan kolonialis Belanda dan cenderung denotatif. Hal itu kemudian membuat beberapa organisasi atau putra-putri tanah air memberikan istilah pengganti Hindia Belanda, seperti Indonesische/Indonesia oleh Perhimpunan Indonesia, Hindia Poetra (1918) oleh Suryoputro, Hindia Timur (sempat ditolak para pejuang pergerakan karena bermakna inlander-rasis), Insulinde oleh Dauwes Dekker, dan Nusa Hindia oleh Surat Kabar Padang tahun 1922.

Istilah Indonesia/Indonesische oleh Perhimpunan Indonesia diterima secara luas dan kemudian menjadi nama negara kita. Walau demikian, istilah nusantara juga tidak kalah populer dengan istilah Indonesia. Istilah tersebut digaungkan kembali oleh Ki Hajar Dewantara setelah lama tidak terdengar sejak abad ke-16 Masehi. Sukarno dalam pidatonya tahun 1917 dengan bangga menyebut wilayah Kepulauan Indonesia dengan istilah Nusantara. Bernard H.M. Vlekke juga menerbitkan buku berjudul “Nusantara a History of Indonesia” pada tahun 1943.

Istilah Nusantara tidak sebatas penamaan wilayah Indonesia saja, melainkan merupakan identitas bangsa Indonesia. Nusantara pada masa pergerakan merupakan simbol spirit perjuangan menentang penjajahan Belanda yang diwarisi dari kehebatan Majapahit dalam menyatukan Nusantara. Diskursus simbol “Kenusantaraan” digaungkan oleh tokoh pergerakan nasional, seperti Muhammad Yamin. Ia secara tegas mengakui peran penting Majapahit dalam menyatukan Nusantara dalam rapat-rapat BPUPKI hingga dalam buku-bukunya. 

Nusantara menurut Bernard Vlekke menjadi framing untuk menggambarkan bangsa Indonesia pada periode paska Hindu-Buddha (periode perkembangan Islam, Kolonialisasi, dan terbangunnya konsep serta negara Indonesia). Dalam UUD 1945, budaya Nusantara termasuk puncak-puncak kebudayaan daerah. Kebudayaan Nusantara menjadi identitas masyarakat Indonesia, oleh para ahli disebutkan menjadi budaya yang berinteraksi dengan budaya Cina, India, Timur Tengah, dan Eropa.

Prof. Wasino kemudian memaparkan tentang Wawasan Nusantara yang menjadi doktrin pertahanan, sebagai cara pandang bangsa Indonesia untuk bersatu dalam satu kesatuan wilayah, sosial, politik, ekonomi, budaya, dan pertahanan keamanan. Dengan demikian, Nusantara dapat mencakup pengertian dalam aspek geografi, politik, budaya, hingga sosial ekonomi.

Adanya rancangan penamaan Ibu Kota Negara Indonesia yang baru dengan istilah Nusantara menurut Prof. Wasino kurang tepat, karena nama tersebut memiliki makna yang lebih luas cakupannya dibandingkan NKRI. Selanjutnya, Nusantara seharusnya tetap menjadi konsep wawasan agar Indonesia tetap bersatu, bukan mengalami penurunan makna sebagai nama ibu kota semata. Ia mengusulkan nama Ibu Kota Negara Indonesia yang baru dengan istilah Kuta Negara, Kota Nusa, atau Lokantara. (Jusuf)

0 Komentar

Posting Komentar

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama