Warisan Cagar Budaya disekitar Kawasan Cagar Budaya Gajihan, DukuhJinggil

Dukuh Jinggil berada disebelah selatan Dukuh Gajihan, terpisah hamparan sawah dan sungai purba. Tahun 80-90an, ketika transportasi belum semaju sekarang, Dukuh Jinggil menjadi rute pilihan menuju Jatinom, meskipun harus melewati sungai.

Dukuh Jinggil disebut dalam Riwayat Ki Ageng Gribig terbitan Panitia Penyelenggara Yaqqowiyyu pertama kali (“Dalam syiarnya, Ki Ageng Gribig dari Surobayan menuju utara dan sampai di Dukuh Gajihan sebelah barat yang masih berupa hutan, setelah membangun 7 mata air, beliau ke selatan dan tiba didaerah hutan dengan tanah yang agak tinggi yang disebut Siti Hinggil/ Jinggil).

Sore tadi kami mengunjungi sesepuh yang kebetulan juga pendukung Cagar Budaya Gajihan, ternyata menurut tutur masyarakat, Dukuh Jinggil berasal dari Mojo Inggil, karena ditengah tengah Dukuh tumbuh pohon Mojo yang sangat tinggi yang saat itu banyak dimanfaatkan sebagai media pengobatan.

Pohon mojo

Menelusuri Dukuh Jinggil, sangat menarik sekali ternyata kalau di lihat dari utara (Kawasan Cagar Budaya Gajihan), terliihat seperti cermin. Yaitu adanya Pohon Randu Alas dan Pohon Joho yang berpasangan, persis seperti di Dukuh Gajihan.

Disamping timur dua pohon purba ini, beremayam makam Kanjeng Raden Tumgenggung Joyonegoro, yang diyakini terhubung dengan Kraton Solo. Bagian nisan khas Mataram Islam masih tersisa, banyak sisanya yang dipendam. Jejak berikutnya adalah makam Kyai Kanoman yang letaknya disamping masjid ditengah tengah Dukuh Jinggil. Nisannya sendiri sudah dipugar, tetapi disekitarnya masih ditemui nisan kuno khas Mataram Islam, dan banyak yang dipendam dibawahnya.

Nisan Kyai Kanoman

Menurut sesepuh Dukuh jinggil, Kyai Kanoman adalah adik dari Pangeran Joko Dolog/ Ki Ageng Gribig. Kami juga ditunjukkan ke sawah disebelah selatan Dukuh Jinggil, dimana ada setidaknya dua batu andesit bagian candi.

Batu Andesit

Hal menarik lainnya adalah, ada beberapa warga (masih ada kaitan keluarga) yang menjadi abdi dalem Kraton mangkunegaran (Solo) setidaknya sudah tiga generasi. Yang terakhir sudah sampai pada tingkatan Adipati Anom.

Sumber: Tulisan dari postingan anggota Group Sigarda Indonesia
Editor: Wahyudi Kurniawan

0 Komentar

Posting Komentar

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama