Mengenal Tiga Narasumber Kemah Budaya ke-4 Sigarda

Sobat Sigarda yang tercinta,

tidak terasa Kemah Budaya ke-4 Sigarda yang akan diselenggarakan di Kuningan dan Cirebon sudah tinggal dalam hitungan hari. Seperti biasa, dalam setiap Kemah Budaya selalu ada narasumber yang diundang untuk berbagi ilmu pengetahuan berdasarkan kapasitas dan kompetensinya. Dalam Kemah Budaya ke-4 yang bertema: 𝗠𝗲𝗿𝗮𝗷𝘂𝘁 𝗛𝗮𝗿𝗺𝗼𝗻𝗶 𝗕𝘂𝗱𝗮𝘆𝗮 𝗧𝗶𝗼𝗻𝗴𝗵𝗼𝗮 𝗱𝗮𝗻 𝗜𝘀𝗹𝗮𝗺 𝗠𝗮𝘀𝘆𝗮𝗿𝗮𝗸𝗮𝘁 𝗖𝗶𝗿𝗲𝗯𝗼𝗻 ini ada tiga narasumber yang siap berbagi ilmu kepada para peserta. Siapa sajakah mereka?

_______


Foto pertama adalah sosok Bp. Mustaqim Asteja. Bagi para pegiat dan penggiat sejarah Cirebon, nama beliau sudah tidak asing lagi. Beliau mempelajari sejarah Cirebon secara otodidak. Pengetahuan yang mendalam tentang Cirebon lahir dari upaya beliau yang dengan giat membaca buku dan memburu arsip-arsip sejarah. Pak Mustaqim juga aktif menggagas dan menyelenggarakan berbagai diskusi tentang bahasa, sejarah, dan budaya Cirebon. Salah satunya yang rutin digelar setiap tahun ialah diskusi Gotrasawala di Keraton Kacirebonan. Diskusi tersebut membahas isi naskah karya Pangeran Wangsakerta, keturunan Sunan Gunung Jati, yang dibuat dalam kurun waktu 21 tahun (1677-1698).


Dilahirkan di Haurgeulis, Indramayu, Pak Mustaqim adalah lulusan STM jurusan teknik di Plered, Kabupaten Cirebon. Jalan hidup mengantarnya sebagai pekerja pabrik sepatu dan boneka di Jakarta, kemudian pindah ke Cikarang di Bekasi. Lebih dari 10 tahun merantau sebagai pekerja pabrik, Pak Mustaqim tak lepas dari buku. Beliau berburu buku setiap pekan dengan tema yang luas kendati kecenderungannya ialah pada sejarah.


Aktivitas sehari-hari Pak Mustaqim selalu berkenaan dengan penelitian sejarah Cirebon. Ia memutuskan tidak lagi bekerja di bidang formal karena kesibukannya kini banyak tersedot untuk mengumpulkan dan mengolah arsip-arsip kuna Cirebon, sebagai bagian upaya menjaga sejarah kota. “Beberapa kali saya diminta Pemkot Cirebon membuat film dokumenter tentang kota ini. Uangnya memang tidak besar, akan tetapi saya senang ilmu saya dihargai dan ternyata bisa bermanfaat,” ujarnya.


Selain menjadi peneliti sejarah, beliau juga menjadi kolumnis di media lokal tentang sejarah Cirebon. Ia menulis pada halaman khusus Cirebon dalam Pikiran Rakyat, Kabar Cirebon, dan Radar Cirebon. Beliau tidak jarang menjadi narasumber dalam diskusi-diskusi ilmiah tingkat daerah, nasional, maupun internasional, secara daring maupun luring.

(Sumber: Ciputra Library)

_______


Foto kedua adalah sosok Bp. Waryo Sela. Ki Waryo alias Ki Waryo Sela adalah seorang seniman multitalenta dari Cirebon yang lahir di Bongas, Sumberajaya, Majalengka. Ayahandanya adalah Ki Miskat (Ki Empek) yang juga dikenal sebagai seniman serba bisa pada masanya.


Karena dari keluarga seniman, maka Ki Waryo sejak kecil telah mengenal dan mengakrabi seni Cirebon. Sejak belajar di SD Bongas 2, Waryo kecil telah ikut orang tuanya untuk pentas dari satu tempat ke tempat lain. Akibatnya kesempatan untuk mengikuti pelajaran di sekolah terseok-seok. Syukurlah guru-guru sekolahnya dapat memahami bahkan mengapresiasi aktivitasnya sebagai seniman cilik.


Pada tahun 1978 (usia 11 th) Waryo kecil bersama dengan bapaknya dan Ki Sana (sang paman) berkempatan untuk mengikuti festival seni tradisional bertaraf internasional di Jakarta. Mereka pentas mewakili seniman Cirebon yang dipimpin oleh bapak Endo Suanda. Festival seni inilah yang kemudian memicu Waryo untuk tetap konsisten dalam berkesenian dan ingin bersekolah setinggi-tingginya, hal tersebut dikarenakan Waryo melihat kompetensi para maestro seni tradisional berkelas dunia.


Ki Waryo dikenal sebagai seniman topeng Cirebon. Beliau berpendapat, bahwa Topeng Cirebon memiliki peranan penting dalam membentuk sejarah Cirebon terutama pada masa kesultanan Cirebon dipegang oleh Syarief Hidayatullah. Karena kecintaannya pada seni topeng Cirebon – juga instrumen pengiringnya, maka lahirlah tulisan-tulisan beliau tentang topeng dan gamelan Cirebon.

(Sumber: Wikipedia)

_______


Foto ketiga adalah sosok Dr. Lutfi Yondri. Beliau lahir di Bukittinggi, Sumatera Barat, 21 Mei 1965. Jenjang pendidikan beliau adalah Sarjana Arkeologi, Fakultas Sastra, Universitas Indonesia (1989); Magister Arkeologi, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia (2005); Doktor di Bidang Kajian Budaya dari Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjadjaran, tahun 2016 dengan predikat Cum Laude, serta menjadi lulusan terbaik Program Doktoral Universitas Padjadjaran tahun 2016/2017, dengan karya Disertasi berjudul Situs Gunung Padang: Dalam konteks Kebudayaan, Manusia, dan Lingkungan.


Dr. Lutfi Yondri aktif sebagai peneliti bidang Prasejarah di Balai Arkeologi Jawa Barat, juga aktif sebagai pengurus dan anggota beberapa organisasi profesi: Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia (IAAI) Komda Jawa Barat-Banten, Asosiasi Museum Daerah (AMIDA) Jawa Barat, Dewan Pakar Asosiasi Prehistorisi Indonesia (API), Dewan Pembina Komunitas Historia Indonesia (KHI), Anggota Himpunan Peneliti Indonesia (Himpenindo). Berperan aktif dalam usaha pelestarian cagar budaya sebagai Tenaga Ahli Cagar Budaya (TACB) di Provinsi Jawa Barat sejak tahun 2015, Tim Perumus pembentukan Dewan Pemajuan Kebudayaan Daerah di Jawa Barat, dan sebagai Penggagas Gerakan Museum Berbasis Sekolah (GEMAS) di Jawa Barat.

(Sumber: BWCF)

_______


Nah, demikian sekilas bionarasi dari ketiga narasumber Kemah Budaya ke-4 Sigarda. Dan akan ada penampilan Pencak Silat siswa-siswa MAN 1 Kuningan dan Tari Topeng oleh Ki Waryo Sela. 

Jika sobat Sigarda ingin berjumpa dan mendengar langsung mereka membagikan ilmu di Bumi Perkemahan Ipukan dan lokasi-lokasi yang akan dikunjungi, masih ada kesempatan bagi Anda untuk mendaftarkan diri sebagai peserta. Pendaftaran masih dibuka sampai dengan tanggal 28 Oktober 2025.


Yuk.. segera mendaftar...


#kenali

#cintai

#bersama

#sigarda_indonesia

#kemahbudaya4

#kuningan_cirebon

0 Komentar

Posting Komentar

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama