Benteng Asakota: Misi Katolik Ordo Dominikan di Bima

Oleh : Ihsan Iskandar (Sigarda NTB)

Pendahuluan

Dalam beberapa literatur abad 17 hingga awal abad 20 masehi, nama Benteng Asakota Bima tidak pernah dikenal ataupun tercatat oleh para peneliti maupun pelancong yang singgah di Teluk Bima. Benteng Portugis yang kita sebut saat ini sebagai benteng Asakota, dahulu hanya dikenal dengan sebutan Noorder Fort (benteng utara) dalam catatan-catatan Belanda. Dengan demikian, penamaan Noorder Fort menjadi Benteng Asakota bisa diasumsikan sebagai penamaan yang relative baru. Apabila Asakota diterjemahkan kedalam Bahasa Indonesia yang kita gunakan saat ini maka akan berarti mulut kota. Asa sama dengan mulut sementara kota sama dengan kota. Namun jika merujuk pada transkrip melayu  tentang perjanjian antara Bima dan Kompeni tahun 1669 pada pasal 14 sebagaimana yang tertulis dalam naskah Bo Sangaji Kai Bima, maka kata Kota sama dengan benteng (forten) (Salahuddin, 2012, pp. 327, 573). Menurut J.C.G. Jonker (1893) dalam kamus bahasa Bima-Belanda yang ia susun, kata Kota sama dengan Kuta yang berarti benteng atau pagar.  Dua kata itu kemungkinan berasal dari bahasa Melayu atau Sansekerta (Jonker, 1893, pp. 41-42).

Gambar 1 Reruntuhan Benteng Asakota
Sumber: Dokumentasi Penulis


Dengan demikian maka Asakota bisa diartikan sebagai benteng di Mulut Teluk Bima, dimana memang di mulut Teluk Bima terdapat dua benteng yang mengapit celah sempit sebagai pintu masuk kedalam Teluk Bima. Benteng yang berada disisi timur mulut Teluk Bima dalam catatan Belanda disebut sebagai Zuiden Fort (Benteng Selatan), sementara benteng yang ada di sisi barat mulut Teluk Bima disebut sebagai Noorder Fort atau Benteng Utara.  Namun karena Benteng Selatan sudah hancur yang saat ini lokasinya sudah berdiri Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU), maka penyematan untuk nama Benteng Asakota kini tinggal untuk satu benteng saja, yaitu benteng Utara di sisi barat mulut Teluk Bima. Kendati demikian, untuk wilayah bekas Benteng Selatan (Zuiden Fort) disisi timur mulut Teluk Bima, kini tetap diabadikan namanya menjadi nama kecamatan diwilayah tersebut yaitu Kecamatan Asakota Kota Bima.

Benteng Asakota di utara dibangun diatas sebuah pulau kecil di mulut Teluk Bima yang bernama Nisa Soma.  Pada tahun 1847 saat Zollinger mengunjungi benteng ini, sisi barat Nisa Soma masih bisa dilintasi perahu ketika air laut pasang. Dua benteng di mulut Teluk Bima tersebut berbentuk segi empat dengan beberapa potong Meriam tua sebagai senjatanya. Ada beberapa penjaga yang tinggal didalam benteng dengan kondisi benteng dan penjagaan yang cukup memprihatinkan (Zollinger, 1850, p. 100). Penjelasan lebih lanjut tentang bentuk dan ukuran kedua Benteng Asakota diuraikan oleh Rouffaer sebagaimana yang dikutip Hagerdal dalam Held’s History of Sumbawa, bahwa benteng Selatan berukuran 60x95 meter atau 5.700 m2, sementara Benteng Utara memiliki ukuran 80x150 meter atau luas 12.000 m2. Kedua benteng dibangun menggunakan batu vulkanik dengan bastions disetiap sudut benteng (Hagerdal, 2017, p. 42). 

Gambar 2 Teluk Bima
Sumber: Dokumentasi Penulis

Misi Dominikan membangun Benteng Asakota

Adanya bastions di sudut benteng membuat Noordyun berspekulasi bahwa kemungkinan benteng Asakota dibangun pada masa pendudukan Gowa atas Bima sebelum pertengahan abad ke-17 masehi. Menurut Noordeyun, pengetahuan tantang pembuatan bastion hanya dikenal pada masa tersebut oleh orang-orang Portugis (Noordduyn, 1987, pp. 102-104).

Beberapa pendapat lain tentang kapan Benteng Portugis di Mulut Teluk Bima ini dibangun, juga dikemukakan oleh De Jong Boers (1997) dalam Hagerdal (2017). Boers memperkirakan bahwa Benteng Portugis yang ada di mulut Teluk Bima dibangun pada awal abad 17 oleh Portugis untuk melindungi kepentingan perdagangannya di Bima. Pendapat itu ia kemukakan berdasrkan komoditi dagang Portugis dari Bima berupa Kayu Sapan yang sudah rutin diperdagangkan Bima setiap tahun kesejumlah wilayah. Hal lain yang memperkuat hipotesa Boers adalah catatan-catatan pelancong Portugis awal abad 16 yang sudah memberi perhatian lebih pada aktivitas perdagangan di Bima (Hagerdal, 2017, p. 42).

Catatan perjalanan Tome Pires tahun 1512-1515 mendeskripsikan beberapa komoditi yang diperdagangkan Bima awal abad 16. Disebutkan bahwa Bima sudah rutin mengeksport kuda ke Pulau Jawa setiap tahun. Selain itu Bima juga sudah memperdagangkan kayu sapan ke Malaka yang kemudian dijual oleh para pedagang Malaka Ke China dengan harga yang lebih murah dari kayu sapan Siam.  Bima juga memproduksi kain kasar untuk diperdagangkan ke Maluku. Setiap kapal yang melintas dari Malaka ke Maluku atau sebaliknya, akan tetap menyinggahi Bima untuk mengisi kebutuhan air dan kebutuhan logistic lainnya seperti beras, ikan kering, daging kering dan asam (Salahuddin, 2012, p. xvi).

Namun jika Benteng Portugis itu dibangin awal abad 17 sebagaimana yang dikemukakan oleh Boers, maka akan bertentangan dengan catatan Belanda maupun catatan Kerajaan Bima yang menyebut bahwa tahun 1605 Bima sudah mulai melakukan perjanjian dagang dengan Belanda untuk menyuplai kebutuhan beras bagi Belanda di Maluku (Jong, 2015, p. 6). Dalam naskah Bo Sangaji Kai Bima juga menyebutkan bahwa pada saat perjanjian pertama antara Raja Bima dan Belanda tersebut, Raja Bima ikut membantu Belanda menyerang orang-orang Portugis di Sungai Belo dalam Teluk Bima (Salahuddin, 2012, pp. 113-114). 

Berbeda dengan dua pendapat diatas, Cornelis Speelman yang menjadi saksi perjalanan sejarah awal Kesultanan Bima pertengahan abad 17 berpendapat, bahwa Benteng Portugis yang ada di mulut Teluk Bima dibangun oleh sultan pertama Bima, Sultan Abdul Kahir yang bergelar Ma Bata Wadu tahun 1640 dan sudah dalam keadaan rusak tahun 1669 (Hagerdal, 2017, p. 87). Jika benteng dibangun oleh Sultan Abdul kahir tahun 1640, maka tidak ada peristiwa pertempuran atau penyerangan atas Bima yang berlangsung antara tahun 1640 hingga 1669 yang sekiranya bisa menghancurkan Benteng Asakota. Kalaupun ada peristiwa alam seperti gempa bumi atau letusan gunung api, maka letusan dahsyat seperti letusan Gunung tambora tahun 1815 tentunya akan lebih mampu menghancurkan benteng Asakota. Dengan demikian, dugaan Speelman tentang pembangunan benteng Asakota tahun 1640 tersebut tidak bisa dipastikan.

Gambar 3 Sisa-sisa meriam di Benteng Asakota

Sebuah catatan dari misi Ordo Dominikan Portugis pertengahan abad 16 sebagaimana yang dikutip Suchtelen dan Rouffaer (1923), memberi satu informasi pasti tentang kapan dan siapa sebenarnya yang membangun Benteng Asakota di mulut Teluk Bima. Rouffaer dan Suchtelen menulis, ada 27 misi kristenisasi Ordo Dominikan yang dikirim ke Hindia Timur pada pertengahan abad 16. Misi Ordo Dominikan tersebut membangun banyak benteng disejumlah pulau antara lain Jawa (panarukan), Kroweh, Tima (Bima), Ende, Solor, Timor, Lumba (Sumba), Makassar dan  Sawu. Misi-misi kristenisasi tersebut dilakukan dalam rentan waktu antara tahun 1561 hingga 1575 (Rouffaer, 1923, p. 144). 

Dalam menjalankan misinya, Ordo Dominikan membangun benteng untuk melindungi gereja dan aktifitas misi didalamnya. Benteng pertama yang dibangun tahun 1561 di Solor masih terbuat dari batang pohon lontar. Hingga pada saat  misi islamisasi Giri dari Jawa menyerang Solor untuk pertama kali tahun 1563, benteng Ordo Dominikan di Solor masih berupa benteng kayu dari pohon Lontar. Dengan semakin agresifnya misi islamisasi yang dilakukan oleh Giri ke wilayah timur, pada tahun 1566, Antinio Da Cruz memimpin sebuah team konstruksi untuk membangun ulang benteng-benteng Ordo Dominikan yang ada agar lebih kokoh dengan menggunakan batu alam dan tanah kapur (Rouffaer, 1923, pp. 39-40).

Ordo Dominkan merupakan salah satu Ordo Katolik yang didirikan oleh Santo Dominikus de Guzman melalui pengesahan Paus Honorius III tanggal 22 Desember 1216. Setelah disahkan oleh Paus, warta Ordo Dominkan mulai disebar keseluruh Wilayah Eropa (Indonesia, 2022).Di Indonesia sendiri, Ordo Dominkan mulai diwartakan tahun 1565 oleh para misonaris dari Lissabon ibu Kota Portugis. berdasarkan catatan Rouffaer dalam Chronologie der Dominikaner-Missie op Solor en Flores, Vooral Poeloe Ende, Ca. 1556—1638; en Bibliographie Over het Ende-Fort (1923). Pada tahun 1648, sebanyak 12 misionaris Ordo Dominikan diberangkatkan dari Lissabon untuk mewartakan injil ke Goa, India. Dari 12 misionari tersebut, beberapa misionaris yang dipimpin oleh Gaspar Da Crus berangkat ke Malaka dan membangun Biara Dominikan pertama di Malaka antara tahun 1552 hingga tahun 1554. di Malaka inilah Gasper Da Crus mendapatkan banyak informasi tentang wilayah-wilayah taklukan Portugis yang berpeluang untuk penyebaran misi Ordo Dominikan. Sasarannya adalah daerah-daearah yang anti Islam seperti Panarukan di Jawa dan wilayah-wilayah lain di timur Jawa yang belum menerima Islam termasuk Bima (Rouffaer, 1923, pp. 38-56).

Akhir dari Misi Dominikan di Bima

Hingga akhir abad 16, Misi Ordo Dominikan disejumlah wiayah timur termasuk Bima masih berjalan dengan baik. Misi Ordo Dominikan di Bima diperkirakan berakhir sebelum tahun 1605. Pada saat Belanda mulai menjalin kerjasama dagang pertama kali dengan Bima tahun 1605, aktifitas misi Ordo Dominikan di Bima sudah tidak terlihat lagi (Rouffaer, 1923, pp. 141,144). Pengusiran orang-orang Portugis dari Bima diperkirakan terjadi tahun 1602 setelah orang-orang Portugis merampas sejumlah Wanita di Kerajaan Bima.  Berdasarkan catatan Tiele (1882) dalam Hagerdal (2017), saat  Steven Van Hegen datang ke Bima untuk menjalin Kerjasama dengan Raja Bima tanggal 7 Februari 1605, orang-orang Bima menyembunyikan para wanitanya karena takut dirampas seperti yang telah dilakukan oleh Portugis beberapa tahun sebelumnya (Hagerdal, 2017, p. 30). 

Upaya pengusiran Ordo Dominikan juga dilakukan di Pulau Ende Tahun 1602. Sebuah serangan ke benteng Ordo Dominikan di Pulau Ende dilancarkan oleh Ama Kira dengan bantuan Makassar dan seorang pemberontak asal Portugis, Don Joao, yang berambisi menguasai benteng-benteng Dominikan di Pulau Ende dan Pulau Solor (Rouffaer, 1923, pp. 145, 209-210). 

Tidak diketahui siapa sebenarnya Ama Kira dimaksud. Dalam catatan Rouffaer (1923), dikatakan bahwa Ama Kira berasal dari pulau besar (groote Eilen) yang oleh Rouffaer pulau besar tersebut disamakan dengan Pulau Folres atau manggarai. Berdasarkan catatan Belanda, wilayah kekuasan Bima awal abad 17 meliputi Selat Sape dan negeri Sape, Pulau Sangiang, dan semua wilayah Manggarai seberang pulau Ende (Drukkerij, 1846, p. 66). Jika dilihat dari nama dan latar belakang peristiwa, Ama Kira merupakan nama Bima untuk penyebutan diri bagi orang yang dituakan atau bapak pada masa pra islam, sebutan Ama juga disematkan pada bangsawan dan pejabat tinggi kerajaan seperti Ama Lima Dai yang merupakan Mangkubhumi kerajaan Bima sebelum tahun 1605. Di Manggarai sendiri penyebutan diri dengan Ama tidak dikenal (Sartika, 2022), kecuali bagi penduduk Manggarai dari keturunan Bima yang sudah turun temurun menetap disana. Jika dilihat dari latar belakang peristiwa, maka peristiwa perampasan sejumlah Wanita Bima oleh Portugis bisa menjadi satu alasan kuat bagi Bima untuk mengusir Portugis dari Bima dan menyerang benteng Ordo Dominikan Portugis di Pulau Ende. 

Usai melakukan perjanjian lisan dengan Raja Bima tahun 1605, Steven van Hegen juga melakukan serangan ke Benteng Portugis di Pulau Ende. Namun serangan tersebut sia-sia karena Benteng sudah dalam keadaan kosong. Dalam naskah Bo sangaji Kai Bima, peristiwa penyerangan tersebut dilatari terbunuhnya beberapa orang Belanda di Sungai Belo oleh serangan Portugis yang datang dari Teluk Sanggar. Bima yang saat itu sudah tidak suka dengan Portugis membantu orang-orang Belanda dan berhasil mengusir dan menawan beberapa orang Portugis. Setelah itu datang orang-orang Belanda lain yang memeriksa peristiwa tersebut  kemudian melakukan perjanjian persaudaraan dengan Bima di Desa Cenggu.

Secara historis, pulau-pulau diwilayah timur Bima diambil alih Bima pasca runtuhnya kekuasaan Majapahit tahun 1478. Ekspedisi militer pertama yang dipimpin oleh Mangkubhumi Kerajaan Bima bergelar Makapiri Solor (yang menaklukan Solor), dilancarkan ke wilayah Sumba, Sawu, Larantuka, Solor, Ende, Manggarai dan Komodo. Setelah Sumba ditaklukkan, ditempatkanlah seorang pejabat Kerajaan Bima bergelar Jena Mone Na’e, sementara di Manggarai ditempatkan seorang pejabat kerajaan bergelar Jena Luma Mbojo untuk mengatur kekuasaan dan penyediaan komoditi yang akan diperdagangkan di Pelabuhan Bima (Salahuddin, 2012, p. 5). Berdasarakan catatan Tome Pires dan Duerte Barbosa, pada tahun 1515 dan 1518, Bima merupakan Pelabuhan penting yang meng menghubungkan antara Malaka dan Maluku. Pelabuhan Bima telah menjadi pusat perdagangan Kuda, Kayu Sapan dan Cendana putih yang didatangkan dari Manggarai dan Sumba (Hagerdal, 2017, p. 50). Jika mengacu pada komoditi yang diperdagangkan oleh Bima, maka penaklukkan yang dimaksud dalam naskah Bima tersebut terjadi  antara tahun 1478 hingga tahun 1515. Dari Pelabuhan Bima ini pula lah orang-orang Portugis akhirnya mengetahui bahwa sumber komoditi dagang Bima ke Malaka dan Jawa ternyata berasal dari pulau-pulau selatan manggarai seperti Ende, Solor, Sumba dan Sawu.

Catatan lain yang menjelaskan tentang kekuasaan Bima akhir abad 15 adalah Naskah Hikayat tanah Hitu yang menceritakan tentang perjalanan petinggi Hitu Bernama Rajali dan Sultan Maluku Bernama Sultan Zainal Abidin ke Bima. Kedua petinggi kepulauan Maluku itu bertemu di Giri dan menetap disana untuk beberapa lama. Pemimpin Hitu, Rajali, memutuskan untuk Kembali ke Hitu lebih awal. Dalam perjalananya ke Hitu, Rajali singgah di Bima dan mengambil salah satu putri Raja Bima sebagai istrinya. Selang beberapa lama Sultan Zainal Abidin pun pulang ke Maluku dengan membawa seorang Muballigh dari Giri. Dalam perjalananya ke Maluku, Sultan Zainal Abidin memutuskan untuk mampir di Bima dan terlibat perselisihan dengan Raja Bima. Pada peristiwa itu Sultan Zainal Abidin terkena tombak dari seorang kakek hingga harus dilarikan ke kapal oleh para pengawalnya. Akibat luka tombak tersebut, Sultan Zainal Abidin meninggal dunia setelah beberapa lama tiba di Ternate (Hagerdal, 2017, pp. 32, 35-36)

Setelah mengetahui asal komoditi yang diperdagangkan oleh Bima tahun 1515 hingga tahun 1518, pada tahun 1545 Portugis mulai menancapkan kekuasaannya di tanah Bima (Morris, 1890). Wilayah-wilayah kekuasaan Bima yang ada di bagian timur mulai diambil alih Portugis tahun 1556  (Hagerdal, 2017). Di wilayah Bima dan wilayah-wilayah lain yang telah diambil alih dari Bima tersebut kemudian dibangun benteng Portugis untuk misi kristenisasi Ordo Dominikan antara tahun 1561 hingga tahun 1575. Sumba dan Sawu diambil alih Kembali oleh Bima tahun 1627 hingga tahun 1632 oleh Raja Bima Ma Bata Wadu. Pada tahun 1641, Sultan kedua Bima, Abil Khair Sirajuddin Kembali memperbaharui perjanjian dengan Sumba dan mengutus Jeneli Monta, Bumi Nggampo dan Bumi Tente ke Sumba dan Sawu. Setelah Sumba Kembali tunduk pada Bima, perdagangan kayu Cendana mulai digalakkan lagi dari Pelabuhan Bima.  Berdasarkan catatan Dagh register tahun 1624 hingga tahun 1665, Pelabuhan Bima sudah Kembali memperdagangkan kayu cendana ke Batavia (Salahuddin, 2012, pp. xvi, 6). Namun pada tahun 1663, para penguasa Sumba dan Sawu memberontak sehingga Bima harus meminta bantuan persenjataan Belanda untuk bisa kembali menundukan dua pulau tersebut (Stapel, 1931, p. 58). Pemberontakan itu terkait pelarangan Sumba dan Sawu berdagang kayu cendana dengan pedagang lain selain Bima. Pada tahun 1662, sebuah kapal dagang melayu yang mengangkut Kayu Cendana dari Sumba dedenda oleh Sultan Bima dan melarangnya mengambil kayu cendana secara langsung ke Sumba (Hagerdal, 2017, p. 50).

Kendati Ordo Dominikan telah keluar dari Bima sekitar tahun 1602, namun misi Katolik lain pernah datang ke Bima bulan Maret tahun 1618 oleh 2 misionaris Ordo Jesuit yaitu Manuel Azevado dan Manuel Ferreire. Pada saat kedua misionaris Ordo Jesuit itu tiba di Bima, keadaan Bima sedang dalam suasana genting oleh rencana serangan Gowa atas Bima  (Tawaluddin Haris, 1997, pp. 38-39). Misi Katolik lain juga tercatat pernah datang ke Bima tahun 1670 saat Sultan Abil Khair Sirajuddin (Sultan ke II Bima) berkuasa. Namun kedatangan Pendeta Katolik muda asal Portugis ini dianggap sebagai hal yang bodoh oleh misionaris Katolik lain di Banten, karena membuat perjanjian yang dianggap tidak sesuai dengan ketentuan ummat Kristiani. Namun berdasarkan laporan perjalanan Pendeta Padroado yang melakukan perjalanan dari Manila ke Timor, Bima, Jawa hingga Makao tahun 1670 hingga tahun 1671, melaporkan bawah di Bima terdapat banyak orang yang memeluk agama Kristen yang hidup diantara orang Islam dan Pagan. Namun penyebaran agama Kristen disana buruk karena harus dilakukan secara sukarela tanpa boleh melakukan pemaksaan (B.J.J. Visser, 1935, pp. 38, 161, 198-199).

Ada perjanjian antara Bima dan Kompeni tahun 1669 yang mengatur tentang aturan penyebaran misi islam dan misi Kristen di wilayah Kesultanan Bima. Aturan itu tertuang dalam pasal  8 yang menyatakan bahwa Jika suatu saat ada orang Belanda atau orang eropa lain yang hendak masuk agama islam dan hendak tinggal di wilayah Bima, maka raja Bima tidak boleh menerimanya dan harus diserahkan pada Kompeni. Dan begitupun sebaliknya jika ada orang Bima yang hendak masuk agama Nasrani, maka Kompeni tidak boleh menerimanya kecuali atas seijin Sultan Bima (Salahuddin, 2012, pp. 335-336, 577-578).

Semenjak adanya perjanjian tersebut, maka misi Kristen di Bima tidak bisa berkembang dengan baik hingga berakhirnya pendudukan VOC akhir abad 18 masehi. Jejak-jejak yang ditemukan dari aktivitas lampau dari benteng Asakota berupa tanaman herbal dan tanaman hias yang tumbuh liar di pegunungan Donggo yang menurut Elbert (1912) berasal dari luar Bima dan diperkenalkan oleh orang luar melalui Benteng Portugis (Asakota) (Elbert, 1912, p. 57). 


Daftar Pustaka

B.J.J. Visser, M. (1935). Onder de Compagnie 1606 - 1800. Batavia: G. Kolff & Co Batavia C.

Drukkerij, L. (1846, Januari 1). Beknopte Geschiedenis van het Makassarsche . Tijdschrift voor Neerland's Indië jrg 10, pp. 3-77.

Elbert, J. (1912). Die Sunda Expedition. Frankfurt: Hermann Minjol.

Hagerdal, H. (2017). Held's History of Sumbawa An Annotated Translation. Amsterdam: Amsterdam University Press.

Indonesia, D. (2022, 12 21). Tentang kami. Retrieved from www.dominikan.id: https://dominikan.id/riwayat-santo-dominikus/

Jong, D. C. (2015). Het Sultanaat Ternate En De Republiek, 1599 -1612. Versie, 1.0, 1-15.

Jonker, J. C. (1893). Bimaneesch-Hollandsch Woordenboek. Batavia: M. Nijhoff.

Morris, D. F. (1890). Nota Van Toelichting Behoorende Bij Het Contract Gesloten. Batavia: Albrecth & Rusche.

Muljana, P. D. (2012). Runtuhnya Kerajaan Hindu Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara. Jakarta: LKiS.

Noordduyn, J. (1987). Bima en Sumbawa. Dordrecht: Foris Publications.

Rouffaer, B. C. (1923). Het Oud'portugeesche Fort Op Poeloe Ende (Flores). Den Haag: N.V. Boekdrukkerij Voorheen Firma T. C. Ten Hagen.

Salahuddin, H. C.-L. (2012). Bo' Sangaji Kai Catatan Kerajaan Bima. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Sartika, M. A. (2022, 12 15). Sapaan Dalam Bahasa Manggarai di Provinsi Nusa Tenggara Timur. Retrieved from www.usd.ac.id: https://e-journal.usd.ac.id/sintesis/article/view

Stapel, F. W. (1931). Geschiedkundige Atlas Van Nederland. Gravenhage: Martinus Nijhoff.

Tawaluddin Haris, S. Z. (1997). Kerajaan Tradisionla di Indonesia : Bima. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI.

Zollinger, H. (1850). Verslag van eene reis naar Bima en Soembawa, en naar eenige plaatsen op Celebes, Saleijer en Floris, gedurende de maanden Mei tot December 1847 . Batavia: Lange.


0 Komentar

Posting Komentar

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama