Museum Taman Prasasti: Tempat Peristirahatan Terakhir nan Indah di Batavia

Oleh: Muhammad Ray T. D.

Bagian Depan Museum Taman Prasasti
(Dokumentasi Ika Dewi Retnosari)

Pemakaman merupakan salah satu bentuk artefak yang ditemukan di beberapa wilayah di Indonesia. Dari pemakaman dapat menceritakan banyak hal seperti identitas orang yang dimakamkan, teknologi batu nisan, organisasi dan status sosial, serta banyak makna lainnya. Salah satu pemakaman yang cukup melegenda di wilayah Jakarta sebagai ibukota Indonesia adalah kompleks pemakaman yang sekarang berada di Tanahabang, Jakarta Pusat. Saat ini makam tersebut telah menjadi cagar budaya dan dikelola menjadi Museum Taman Prasasti. Dahulu Museum terbuka ini merupakan sebuah pemakaman Belanda, atau lebih luasnya pemakaman orang Eropa. Kerkhoflaan begitulah kompleks pemakaman ini dinamakan, kerkhoflaan sendiri memiliki arti Pemakaman Gereja dalam Bahasa Belanda.

Dalam Rusyanti (2015) Kerkhoflaan berasal dari bahasa Belanda (kerk = gereja, hof = kuburan, laan = halaman) yang berarti kuburan/makam di halaman gereja. Konsep ini populer di Eropa, terutama pada Abad Pertengahan. Di Inggris, kuburan di halaman gereja disebut churchyard. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata kuburan diartikan sebagai lubang di dalam tanah tempat mayat berada, liang kubur, tempat pekuburan, dan kubur. Dalam konteks data arkeologi, istilah mausoleum dapat dibedakan menjadi yang terkubur dalam bentuk kuburan, peninggalan, peralatan pendamping (penataan pemakaman jenazah) dan yang muncul di atas tanah di bawah tanda kubur dan tindakan perlindungan lainnya. Sederhananya, di balik makam yang merupakan salah satu hasil perilaku manusia di masa lampau, juga terdapat cerminan gagasan, konsep, dan status sosial (Simanjuntak, 2008).

Area kerkhoflaan atau Museum Taman Prasasti ini dulunya merupakan konsesi seluas 5,5 hektar milik putra Gubernur Jenderal Batavia ke-29, Jeremias van Rimsjik, yaitu W.V. Halventius kepada Pemerintah Hindia Belanda yang kemudian resmi digunakan sebagai pemakaman pada tanggal 28 September 1795. Alasan dibukanya pemakaman ini karena Belanda melarang penguburan orang di kota atau dekat gereja karena tingginya angka kematian dari wabah epidemi yang terjadi di Batavia sekitar awal abad ke-18. Letak dari Tanahabang sendiri dianggap strategis dan dekat dengan Kali Krukut yang merupakan sarana transportasi jenazah pada masa itu (Heukeun, 1989).

Lukisan Kekhoflaan Tanahabang litografi oleh Josias Cornelis Rappard, 1881-1889
(Tropenmuseum, bagian dari National Museum of World Cultures)

Dalam Museum Taman Prasasti, atau sebelumnya Kerkhoflaan ini, tercatat ada 4.600 makam dari abad ke-17 hingga abad ke-20 sebelum dipugar pada tahun 1976. Pada tanggal 9 Juli 1977, pemakaman Kebon Jahe Kober dijadikan museum dan dibuka untuk umum dengan koleksi prasasti, nisan, dan makam sebanyak 1.372 yang terbuat dari batu alam, marmer, dan perunggu. Karena perkembangan ibukota yang pesat pula, luas Museum Taman Prasasti yang tadinya 5,5 hektar menjadi hanya sekitar 1,3 hektar. Agar lebih efektif, pengelola memajang batu nisan lain di dinding dan pilar makam (Handayani, 2009).

Dalam laman Museum Jakarta pada artikel Museum Taman Prasasti, dijelaskan pula bahwasanya nisan, prasasti atau tugu peringatan, kereta jenazah dan peti jenazah yang ada di areal museum terbuka ini dibagi dalam beberapa areal. Areal pertama ketika memasuki museum ini adalah Area J, di area museum ini terdapat makam pualam yang mana mempunyai hiasan sebuah buku, dan nisan tesebut merupakan milik Dr.H.F.Roll. Beliau ini merupakan seorang pendiri sebuah sekolah dokter pada masa Hindia Belanda yang terbilang sangat terkenal, yaitu School Tot Opleiding Ban Inlandsche Artsen, dan biasanya dikenal dengan STOVIA. STOVIA ini sendiri juga menjadi sebuah cikal bakal dari Fakultas kedokteran di Universitas Indonesia. Kemudian pada area agak sudut, terdapat dua buah peti jenazah yang mana disimpan di dalam sebuah kotak mika transparan. Peti jenazah tersebut dulunya digunakan untuk membawa jenazah Ir. Soekarno dan juga Drs. Mohammad Hatta. Dan karena keduanya muslim, maka peti jenazah tersebut tidak ikut dikuburkan.

Peti Jenazah Soekarno dan Hatta
(Pebby Ade Liana dalam laman hhtps://jakarta.tribunnews.com/)

Pada area G terdapat replika tembok peringatan Pieter Erberveld, sedangkan yang aslinya berada di kampung Pecah Kulit, Jakarta Barat. Pieter Erberveld sendiri adalah seorang keturunan dari Belanda-Siam dimana memiliki rencana untuk berontak serta melakukan makar di pemerintahan Hindia Belanda, dengan cara menggalang dukungan kaum pribumi. Namun sayang, rencananya tersebut diketahui sehingga dirinya ditangkap kemudian dihukum mati dengan kedua tangan dan juga kakinya ditarik 4 ekor kuda. Pada atas tembok tersebut dulunya ditancapkan penggalan dari kepala Pieter kemudian di dindingnya dipasang prasasti dengan bahasa Belanda dan bahasa Jawa dengan aksara Hanacaraka untuk mengingatkan pula kaum pribumi hukuman bagi para pemberontak. Sedangkan pada belakang Area G ini terdapat sebuah patung Pastur Herikus Van Der Grinten yang mana berdiri pada atas tugu yang berwarna cokelat. Dirinya merupakan seorang pastur ternama (pada masanya) di Batavia, serta sangat disayangi banyak orang karena memiliki jiwa kemanusiaan yang tinggi.

Tembok dengan prasasti peringatan Pieter Erberveld
(Cahyu Cantika Amirant dalam laman https://megapolitan.kompas.com)

Patung Pastur Herikus Van Der
(Dokumentasi Achmad Rofi'udin)

Area berikutnya adalah area I, dulunya Museum yang memang merupakan sebuah pemakaman, tetapi untuk sekarang ini jenazah – jenazah yang dikuburkan sudah dipindahkan serta disebar ke beberapa pemakaman yang lainnya. Bebeapa tulang jenazah tersebut sementara disimpan pada bangunan, dan bangunan tersebut disebut dengan Rumah Tulang. Bangunan Rumah Tulang pada dasarnya merupakan sebuah makam keluarga dari A.J.W Van Delden, yang merupakan seorang juru tulis di Indonesia Timur dan juga pernah menjabat sebagai ketua perdagangan VOC. Menurut informasi yang memang masih simpang siur, karena terdapat makam yang di atasnya terdapat pohon yang sangat besar, maka tidak bisa dibongkar. Sesuatu yang menarik dari nisan ini, konon dipercaya masih menyimpan dari jenazah Kapiten Jas, dimana makamnya tersebut diyakini dapat memberikan kesuburan, kemakmuran, kebahagiaan dan juga keselamatan.

Area selanjutnya adalah area H, di area ini terdapat sebuah nisan sederhana yang merupakan milik seorang arsitek yang berkebangsaan Belanda yang bernama Marius J.Hulswit. Selain itu juga terdapat beberapa patung bidadari dan malaikat kudus. Kemudian juga terdapat batu nisan yang mana dibangun di atas pondasi dengan bentuk segi delapan, nisan tersebut milik Olivia Mariamne Raffless yang merupakan istri dari Gubernur Jenderal Thomas Stamford Raffless yang juga merupakan pendiri Kebun Raya Bogor. Adapula nisan milik Elisabeth Adriane Roseboom yang merupakan istri Jeremias Schill yang dulunya merupakan pemilik Sekolah Santa Maria. Terdapat pula nisan dengan ukuran yang cukup lebar, yang merupakan milik Marisa, dimana merupakan seorang wanita yang berasal dari suku Jawa dan dinikahi A.Schultheiss. Nisan tersebut dibuat untuk mengingat jika masa itu sebagian besar wanita pribumi hanya dijadikan sebagai simpanan.

Tak kalah menarik pada area D terdapat juga nisan yang berbentuk seperti katedral berwarna hijau yang menjulang tinggi. Nisan ini dibuat untuk Panglima Perang bernama J. J. Pierrie karena jasanya yang dianggap besar oleh pemerintah Batavia saat itu. Disekitarnya pula ada malaikat pengiring yang menjaga makam tersebut. Tidak jauh dari makam Pierrie ada pula batu nisan lain yang terlihat besar dan megah. Nisan yang tak kalah unik adalah nisan dari Dr. Jan Laurens Andries Brandes seorang filolog dan leksikografer berkebangsaan Belanda. Beliau lah yang menjadi pelopor berdirinya Balai Arkeologi Indonesia. Bentuknya yang agak lain dengan nisan lainnya yang bergaya eropa dengan pilar putih, batu pualam, patung malaikat, tugu perunggu atau hanya prasasti batu yang rata tanah dengan tulisan bebahasa Eropa, nisan dari arkeolog ternama ini berbentuk seperti candi jawa berbahan batu andesit dengan ukiran sulur dan bentuknya yang menyerupai stupa. Pilar yang berada diatas nisan ini dibuat patah, konon hal ini mengartikan bahwa Brandes masih memiliki urusan atau keinginan yang belum tercapai.

Nisan Makam Dr. Jan Laurens Andries Brandes
(Yacob dalam laman http://yacob-ivan.blogspot.com)

Nisan Makam J. J. Pierrie
(Ichsan Emrald Alamsyah dalam laman https://www.republika.co.id)

Tokoh Indonesia pun terdapat batu nisannya di Museum ini. Mereka adalah Soe Hok Gie dan Misreboet. Di arah pintu masuk awal sebelum keluar, ada sebuah prasasti berbahasa Belanda yang bertuliskan “zoals je nu bent, zoals ik vroeger was. Zoals ik nu ben, zo zal jij zijn” yang memiliki arti "Seperti Anda sekarang, demikianlah aku sebelumnya. Seperti aku sekarang, demikianlah juga Anda kelak".

Nisan Makam Soe Hok Gie
(Dokumentasi Nur Ramadhani Abdillah)

Rujukan

Handayani, Rosaeny. 2009. “Bentuk-Bentuk Nisan di Museum Taman Prasasti”. Skripsi Sarjana Arkeologi. Depok: Universitas Indonesia.

Heukeun, Adolf. 1989. “Historical Sites of Jakarta”. Jakarta: Yayasan Cipta Loka Caraka

Rusyanti. 2015. “Kerkhoflaan Tanahabang Jakarta:Interpretasi Menurut Michel Foucault”. Bandung : Balai Arkeologi Bandung

Simanjuntak, Harry.T., dkk. 2008. “Metode Penelitian Arkeologi”. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional

Amiranti, Cantika. 2017. “Kisah di Balik Batu Nisan Megah di Museum Taman Prasasti” dalam laman https://megapolitan.kompas.com/read/2017/02/13/06300031/kisah.di. balik.batu.nisan.megah.di.museum.taman.prasasti?page=all. Diakses pada 4 Januari 2022

Situs Museum Jakarta. https://www.museumjakarta.com/museum-taman-prasasti/. Diakses pada 4 Januari 2022

 

 


0 Komentar

Posting Komentar

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama