Makam Tumenggung Kopek: Jejak Pemerintahan Kesultanan Yogyakarta di Pakuncen Nganjuk

 

Oleh: Muhammad Ali Faqih

Semenjak peristiwa Perjanjian Giyanti 1755, Kerajaan Mataran Islam terpecah menjadi Kesultanan Yogyakarta dan Kesunanan Surakarta. Pembagian kekuasaan meliputi pembagian wilayah di Jawa bagian timur, termasuk wilayah sekitar aliran Sungai Brantas. Akibatnya, Kesultanan Yogyakarta ingin memperkuat kedaulatannya di wilayah Distrik Kertosono, hingga kemudian diputuskan untuk menjadikan wilayah Pakuncen sebagai pusat pemerintahan Kadipaten Kertosono. Salah satu bukti jejak kekuasaan Kesultanan Yogyakarta di Pakuncen adalah batu nisan yang ada di Makam Pakuncen yang oleh masyarakat setempat  disebut “Makam Tumenggung Kopek.

Wilayah Pakuncen pada masa sebelum Perjanjian Giyanti sebenarnya sudah menjadi wilayah Kerajaan Mataram, namun masih berupa sawah bonorowo. Wilayah tersebut mulanya dibabat oleh Kyai Nurjalipah ―salah seorang murid Sunan Giri dari Gresik― pada kisaran tahun 1651 M untuk keperluan syi'ar Agama Islam. Dalam menjalankan syi'arnya, Kyai Nurjalipah membangun sebuah masjid sederhana yang seluruh bagian bangunannya terbuat dari kayu. Masjid tersebut digunakan untuk salat, mengajarkan ilmu tentang Islam, dan keperluan-keperluan keagamaan yang lain.  Sekarang masjid ini sudah beberapa kali direnovasi dan kini diberi nama Masjid Baiturrohman.

Perjanjian Giyanti 1755 menyebabkan wilayah Kerajaan Mataram terbagi menjadi wilayah Kesultanan Yogyakarta dan Kesunanan Surakarta. Pembagian kekuasaan juga terjadi di wilayah Jawa bagian timur. Setelah Perjanjian Giyanti ditetapkan, wilayah kediri resmi menjadi kekuasaan Kesultanan Yogyakarta dan wilayah Jombang menjadi kekuasaan Kesunanan Surakarta, namun Kesultanan Yogyakarta ingin memperluas wilayah kekuasaannya sampai ke Nganjuk. 
Sultan Hamengkubuwono I, Raja pertama Kesultanan Yogyakarta mengutus Raden Tumenggung Purwodiningrat untuk mendirikan kadipaten di tempat yang strategis dekat Sungai Brantas. Kemudian dipilihlah kawasan di sekitar wilayah milik Kyai Nurjalipah sebagai pusat pemerintahan kadipaten yang diberi nama Kadipaten Kertosono.

Disepakati bahwa yang menjadi bupati pertama Kadipaten Kertosono adalah R. Tumenggung Purwodiningrat.
Dalam perkembangannya, Kadipaten Kertosono menjadi wilayah yang makmur. 

Hingga sekitar tahun 1792, terjadi masalah sepeninggal R.A. Tumenggung Purwodiningrat atau yang terkenal dengan sebutan Tumenggung Kopek, istri dari R.Tumenggung  Purwodiningrat. Masalah yang terjadi adalah keresahan R.Tumenggung  Purwodiningrat untuk pemakaman istrinya, apakah harus dimakamkan di tanah Kyai Nurjalipah atau dikembalikan ke Jawa Tengah karena R.A Tumenggung Purwodingrat adalah kerabat dekat dari Sultan Hamengkubuwono I Yogyakarta. Setelah dilakukan beberapa kali perundingan, diputuskan bahwa R.A Purwodiningrat akan dikebumikan di tanah Kyai Nurjalipah. Keputusan inilah yang kemudian menjadikan wilayah tersebut sebagai “Pakuncen.

Bukti sejarah yang menjadi jejak kekuasaan Kesultanan Yogyakarta di Pakuncen tak lain adalah keberadaan makam dan batu nisan keluarga kerajaan. Batu nisan yang ada di menjadi bukti atas peristiwa yang telah disebutkan. Lengkapnya ada empat pasang batu nisan yang mana masing-masingnya merupakan makam dari:
1. R.A. Tumenggung Purwodiningrat/Tumenggung Kopek (istri Tumenggung Kadipaten Kertosono I)
2. R.A. Sosrodiningrat (istri Tumenggung Kadipaten Kertosono II)
3. R.A Kusumaningrat
4. R.A Kartoningrat. (Fathoni, 6 Agustus 2021)
“Batu nisan untuk tanda pathok, tapi motifnya motif mataram dan batanya dari bata putih sama dengan makamnya Tumenggung Poesponegoro bupati pertama gresik, motifnya juga hampir sama.” Ujar Ahmad Akbar Sunandir selaku juru kunci makam. Walaupun memiliki corak masa yang sama, setiap batu nisan memiliki motif yang berbeda dengan yang lain sehingga setiap batu nisan memiliki keunikan sendiri-sendiri. 

Yang unik di sini yaitu penggunaan bata putih sebagai batu nisan. Mungkin sekilas terdengar biasa-biasa saja, namun bisa jadi menarik jika mau melihat lebih lanjut. Batu bata putih memerlukan campuran kapur yang biasanya ditemukan di daerah pesisir. Hal ini pula yang menjadi sebab kebanyakan makam islam di daerah pesisir menggunakan bata putih sebagai batu nisan. 
Lalu bagaimana dengan batu nisan di Makam Pakuncen?

Wilayah sekitar Pakuncen jelas bukan daerah pesisir, sehingga tambang kapur pada saat itu masih jarang ditemukan. Bapak Sunandir mengatakan bahwa batu nisan tersebut murni dibuat oleh Kesultanan Yogyakarta, kemudian secara eksklusif dibawa ke Pakuncen untuk makam keluarga kerajaan.
Posisi makam keluarga kerajaan berada di dalam bangunan bercungkup di kompleks makam yang kerapkali ditutup pintunya atau bahkan dikunci gembok. Dalam bangunan bercungkup tersebut terdapat 22 makam termasuk empat makam utama yang telah disebutkan, berarti terdapat 18 makam lagi selain empat makam yang telah disebutkan terdapat dalam komplek makam utama, namun keberadaan makam tersebut tidak terdata sehingga tidak bisa diidentifikasi. Kemungkinan makam-makam tersebut adalah makam dari penderek (pembantu) Bupati.
Di dalam bangunan bercungkup, empat makam utama tersebut dikhususkan dengan ditutupi kelambu putih. Di dalam kelambu, keempat makam masing-masing ditutupi oleh kain untuk menjaga bentuk nisan agar tidak mudah rusak. Ditutupnya batu nisan oleh kain bisa dikatakan sebagai pengahambat proses analisis karena tidak bisa melihat langsung bentuk motif dari delapan batu nisan tersebut. Hal tersebut bisa dimaklumi karena bertujuan untuk menjaga kemurnian dan kekeramatan makam. 

Daftar Rujukan:
  • Diansyah, D.M. 2017. Pakuncen Sebagai Tanah Perdikan Kecamatan Patianrowo Nganjuk 1722-1939. Avatara , 5 (2). Diakses dari https://core.ac.uk/download/pdf/230696408.pdf
  • Fathoni, A. 2021. Makam Tumenggung Kopek Pakuncen Yang Menjadi Saksi Berdirinya Kadipaten Kertosono. (online). Dari (https://brisik.id/read/70148/makam-tumenggung-kopek-pakuncen-yang-menjadi-saksi-berdirinya-kadipaten-kertosono?utm_source=line_today&utm_medium=article&utm_campaign=fixed)
  • Muryani, W. 2018. Kajian Historis Tanah Perdikan Pakuncen Kota Lama Kertosono. Skripsi tidak diterbitkan. Kediri: FKIP, Universitas Nusantara PGRI Kediri. Diakses dari http://simki.unpkediri.ac.id/mahasiswa/file_artikel/2018/14.1.01.02.0007.pdf
  • Portal Desa Pakuncen: Sejarah Desa Pakuncen. 2020. (online). Diakses dari https://patianrowo.nganjukkab.go.id/desa/pakuncen/profil/42 
  • Sunandir, A.A. 3 Desember 2021. Komunikasi Personal.

Salam Sigarda ✌️ Indonesia🇲🇨

#KENALI
#CINTAI
#Bersama
#SINAU_CAGAR_BUDAYA

0 Komentar

Posting Komentar

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama