Cerita Masjid Jami Pekojan: Eksistensi Muslim Gujarat, Tempat Persembunyian Dipanegara, hingga Dakwah di Semarang

sumber: Tribunjateng/Hermawan Handaka
Oleh Rudi Gunawan/SMA 14 Semarang
Artikel ini diikutkan dalam Lomba Karya Tulis Ilmiah Cagar Budaya 2012 Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Tengah dengan editing

Masjid Jami Pekojan berdiri diatas tanah seluas 3515 m2 di Jalan Petolongan, Purwadinataran, Semarang. Masjid dengan luas asli bangunan 16 m2 ini berdiri diatas tanah wakaf dari khalifah Natar Sab asal Gujarat, India. Tidak diketahui kapan pertama kali masjid ini berdiri. Sebelum menjadi masjid seperti saat ini, bangunan ini merupakan musala kecil dan pemakaman umum untuk warga sekitar yang mewakafkan tanah masjid. Ditangan kepengurusan Akuan (keturunan Gujarat), masjid ini mengalami pengembangan. Pada tahun 1305 H keluarga Akuan memugar dan mengganti  bangunan masjid agar lebih kokoh dengan lantai dari marmer dan sebagian dinding dilapisi keramik. Alasan pengembangan masjid tersebut tak lain karena kawasan tersebut ramai pedagang dan komunitas muslim. Beberapa fitur dirombak, seperti mengganti kubah, memindahkan makam ke Bergota atau tempat lainnya.
Interior masjid | sumber: Kompas.com/M Irzal Adiakurnia
Di areal Masjid Jami Pekojan terdapat makam Syarifah Fatimah. Ia diyakini masyarakat sekitar sebagai putri Sayed Husein, pedagang serta pendakwah di Semarang. Selain itu, ia juga dikenal sebagai orang yang penuh kasih sayang, membantu pengobatan dan tak segan untuk berbagi makanan kepada yang membutuhkan. Syarifah Fatimah wafat pada 5 Jumalid Akhir 1290 Hijriah dalam usia yang cukup muda. Atas jasanya, hingga saat ini banyak masyarakat yang berziarah ke masjid tersebut untuk mengenangnya.

Berdasarkan penuturan takmir masjid, masjid ini pernah menjadi tempat persembunyian Pangeran Dipanegara saat berperang melawan penjajah. Sang Pangeran memilih masjid tersebut karena lokasinya yang strategis dan dekat dengan pusat pemerintahan Belanda di Semarang. Pada akhirnya Pangeran Dinapegara meninggalkan masjid tersebut untuk terus bergerilya mengobarkan semangat perjuangan melawan kolonialisme di Jawa. 
Potret Pangeran Dipanegara | sumber: wikimedia/litografi AJ Bik
Di halaman masjid masih berdiri pohon bidara yang diyakini masyarakat langsung didatangkan dari Gujarat. Pohon ini memiliki banyak khasiat. Dahannya yang rindang menjadi peneduh dan penyejuk areal masjid, daunnya dapat digunakan untuk memandikan jenazah, buahnya dapat dimakan, dan kayunya yang kokoh dapat menjadi bahan bangunan. Rasa buah bidara hampir serupa dengan buah apel. Manis asam menyegarkan. 
Pohon bidara | sumber: pamboedifiles.blogspot
Terdapat tradisi buka bersama yang diadakan di setiap bulan Ramadan di masjid ini. Menu berbuka bersama adalah bubur putih yang berasal dari beras dicampur santan kelapa. Lauknya adalah sambal goreng. Terdapat makanan lainnya seperti buah-buahan, kurma, dan minuman kopi. Tradisi bubur putih ini sudah ada sejak lama. Bubur dimasak oleh para ibu secara turun temurun memasak. Adapun untuk pembelian bahan berasal dari dana sedekah masyarakat.

Demikian adalah kisah penuh nilai di Masjid Jami Pekojan.

Referensi
Wawancara dengan Bapak  Ali Baharun (Takmir Masjid Pekojan) pada tanggal 1 Januari 2014

0 Komentar

Posting Komentar

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama