Pendidikan dan Sastra Jawa (Suatu pemikiran dari Ranggawasita untuk Refleksi Calon Guru)



Reportase : Abi Ahmad Yusuf – Mahasiswa Sejarah UM

Kita mengenal R. Ng. Ranggawarsita (Ronggowarsito) merupakan the last pujangga keraton Surakarta. Sastra memiliki banyak nilai luhur yang berbeda sebagai pencerahan kehidupan mereka yang membaca karya sastra yang ada. sastra bukan sekadar teks yang banyak mengandung filosofi, ajaran agama, atau ajaran sosial yang berlaku dalam kehidupan masyarakat. Serat adalah salah satu karya sastra Jawa yang ditulis oleh pujangga keraton atas perintah dan kehendak seorang raja. Di sebagian kalangan, masyarakat Jawa masih meyakini bahwa peran karya sastra sangat penting, dapat menciptakan tatanan baru dalam kehidupan budaya yang ada di masyarakat, dan karya sastra juga memiliki pengaruh yang besar. dapat berperan dalam mentransmisikan moralitas. pesan, sejarah dan kejayaan seorang penguasa dan peristiwa kelam.

Saya ingin mengutip sedikit pernyataan dari Dr. Th. Pigeaud dalam majalah ‘Djawa’ Th. XII No. 1. Dalam peringatan 60 tahun wafatnya Ranggawarsita disebutkan bahwa R. Ng. Ranggawarsita merupakan seorang penulis dan pemimpin pikiran-pikiran falsafah khas jawa sehingga memperoleh gelar kehormatan pujangga … beberapa karangannya yang kebanyakan berupa cerita panjang yang memerlukan pembahasan; kemashurannya diperoleh dari karya-karya yang pendek berbentuk tembang. Pikiran-pikiran falsafahnya tentang perkembangan kemajuan manusia yang dituangkan dalam kata-kata…. tidaklah dapat dibantah… karyanya berarti penting bagi perkembangan kesusasteraan jawa.

Jika kita melihat beberapa karya Ranggawarsita mungkin kita tidak awam dengan salah satu karyanya yang tengah booming yaitu Serat Kalatidha. Serat ini beberapa kali muncul dalam beberapa pernyataan penting untuk menghadapi pandemi Covid-19. Serat Kalatidha merupakan salah satu karya sastra dari R.Ng. Ranggawarsita yang memiliki banyak sekali memperlihatkan kejadian di Keraton Surakarta dan memiliki banyak sekali pemikiran falsafah tentang manusia dan kebaikan. Husna (2019: 6) menyatakan, “Karya sastra ini ditulis kurang lebih pada tahun 1860 Masehi. Terdiri dari 12 bait dalam metrum Sinom. Kalatidha secara harfiah artinya adalah “zaman gila” atau zaman édan seperti ditulis oleh Raden Ngabehi Ranggawarsita sendiri.” Dalam tulisan ini akan berfokus pada unsur-unsur pendidikan bagi calon Guru di masa depan untuk lebih mengenalkan siswa kepada budayanya serta mampu memiliki falsafah hidup yang baik. Sebagai calon guru mungkin kalimat dari Immanuel Kant (1724-1804) sangat cocok untuk merefleksikan kembali bagaimana seharusnya guru berfikir yaitu ‘Milikilah keberanian untuk berfikir’.

Dalam kehidupan falsafah jawa kita sering berfikir dalam kebudayaan yang dilandasi oleh pandangan dunia, tradisi, serta asumsi yang diperoleh dari pengalaman-pengalaman hidup dan kebatinan masyarakat jawa. Dalam keberanian berfikir tentang cara pandang dunia, tradisi, dan asumsi ini akan bisa menjadi pemikiran baru bagi calon-calon guru untuk mereka bisa lebih berfikir maju dan melibatkan unsur-unsur ilmu sosial dan kebudayaan dalam setiap pandangan mereka pada saat mengajar di sekolah.

Serat Kalatidha sedikit banyak mampu memberikan kita pandangan akan hal tersebut dalam setiap bait-baitnya, seperti beberapa bait berikut,
bait ketujuh yang sering dikutip oleh sastrawan, dalang, budayawan, politik dan tokoh agama dan berbagai orang penting lain sering disebut sebagai zaman gila dimana zaman ini harus tetap semangat untuk berpegang teguh pada kebenaran walaupun dikelilingi perbuatan yang angkara dengan tetap menganggap bahwa seuntung-untungnya orang yang lalai, masih beruntung yang selalu ingat dan waspada (Pambayun, 2019: 68). Bait ketujuh dari Serat Kalatidha sebagai berikut:

Amenangi jaman édan, ewuh aya ing pambudi, melu édan nora tahan, yen tan melu anglakoni, boya kaduman melik, kaliren wekasanipun, ndilalah karsa Allah, begja-begjane kang lali, isih begja wong eling lawan waspada (Kamajaya, 1991: 28)

Terjemahan: “Mengalami hidup di zaman gila, serba sulit menentukan sikap, ikut menggila tidak tahan, kalau tidak ikut (betindak gila), tidak akan mendapatkan bagian, akhirnya kelaparan, sudah kehendak Tuhan, sebahagiabahagianya orang yang lupa, lebih bahagia mereka yang ingat dan waspada”.
Dalam penggambaran zaman edan ini Ranggawarsita menggambarkan Angkara murka akan menjadi orde global di seluruh dunia. Inilah yang disebut sebagai kala tidha yang artinya zaman serba ragu-ragu, zaman yang disebut oleh Prabhu Jayabbaya sebagai kala bendu. Artinya, jaman edan yang serba-celaka, serba bencana, serba-prahara. Prabhu Brawijaya V (1478) menandainya dengan ungkapan yang sangat terkenal: sirna ilang kertaning bhumi (Salihara, 2017). Setelah munculnya zaman edan Ranggawarsita juga memberikan pandangannya tentang cara menyikapi hal tersebut yang dapat terlihat dari bait ke 10 dan 12 seperti berikut
“Sakadare linakonan, mung tumindak, mara ati, angger kan dadi prakara, karana wirayat muni, ihtiyar iku yekti, pamilihe reh rahayu, sinambi budidaya, kanthi awas lawan eling, kang kaesthi antuka parmaning Suksma.
Artinya: “sekedar (usaha) dilakukan, hanya menurut suka hatinya, asalkan tak menjadi soal, karena wasiat orang tua-tua mengatakan, ikhtiyar itu sesungguhnya, untuk memilih (jalan) keselamatan, di lakukan sambil bekerja, dengan awas dan sadar, yang dikehendaki (ialah) mendapapat kasih sayang tuhan. (Kamajaya, 1991: 29)

Bait 12, sebagai berikut:
“Sageda sabar santosa, mati sajroning ngaurip, kalis inh reh aru-ara, murka angkara sumingkir, tarlen meleng malatasih, sanityasa tyas mamasuh, badharing sapundhendha, antuk mayar sawatawis, borong angga suwarga mesti martaya”.
‘Sageda sabar lan santosa, pejah salebeting gesang, lepat saking tindak resah, murka angkara sumingkir, boten saner (inggih) nyuwijekaken tekad, (sarana) tansah nyucekaken manah, (saengga) wurung siksaning Allah, angsal kamayaran sawatawis, borong angga suwarga mesi martaya (pasrah dhiri, jiwa raga mugi angsal suwarga ingkang langgeng).
Artinya: “Hendaknyalah dapat sabar dan sentosa, mati selagi hidup, hindar dari perbuatan rusuh, angkara murka menyingkir, tidak lain (dengan) manunggalkan tekad, (dengan) selalu mensucikan hati, (sehingga) urunglah siksaan Tuhan, mendapat keringanan sekedarnya, berserah diri (memohon) surga yang berisi serba abadi. (Kamajaya, 1991: 31)

Pada bait ke 7, 10, 12 menurut hemat penulis merupakan suatu seri pengajaran dimana adanya zaman edan ini dapat memberikan kita suatu pencerahan baru terhadap perkembangan zaman. Kehidupan manusia bukan hanya akan mencari sebuah kenikmatan keduniawian akan tetapi lebih dari itu hati yang ikhlas, kuat, dan sabar merupakan kunci menjadi manusia yang diharapkan oleh tuhan dimana angkara murka dan perbuatan-perbuatan yang rusuh atau melanggar segala aturan harus dihindarkan agar dapat menyucikan kembali diri manusia serta hatinya.

Dalam pergolakan seperti ini calon-calon guru yang biasanya disebutkan sebagaimana yang tertuang dalam Undang-Undang 1945 gaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Calon-calon guru bukan hanya sebagai pengajar murid dengan berbagai materi yang harus dikuasai. Lebih dari itu, pengajaran sesungguhnya bukan hanya materi-materi ilmu-ilmu alam serta matematika, bukan juga ilmu-ilmu sosial dan bahasa. Pengajaran harus juga memuat kepribadian masing-masing murid lewat budaya-budaya mereka. Budaya bukan hanya sebagai tradisi atau hal lainnya yang berhubungan dengan mistisme saja, budaya lebih dari sekadar hal-hal tersebut. Budaya merupakan akar pemahaman falsafah diri setiap murid yang ada di sekolah, murid-murid yang berasal dari berbagai latar belakang yang berbeda inilah bisa membuat pendidikan lebih bisa menggali setiap ilmu kedalam kehidupan mereka sehari-hari. Pendidikan yang diajarkan oleh guru harus kembali kepada penyontohan kehidupan sehari-hari dengan melibatkan unsur-unsur lokalitas sekitar tempat tinggal setiap siswa. Kembalinya ilmu kepada kehidupan masing-masing setiap murid ini bisa membuat pemahaman murid kepada ilmu yang diberikan tidak berhenti pada secarik kertas saja tapi akan terus diingat karena ilmu yang diberikan menyatu kepada alam, budaya, dan diri masing-masing murid.

Calon guru harus bisa memiliki hati yang jernih untuk memiliki keikhlasan tak terbatas dalam setiap pengajarannya, tujuan pengajarannyapun harus kembali kepada niat yang suci bukan hanya memberikan ilmu yang dikuasai tapi juga memberikan pemikiran-pemikiran baru yang lebih luas kepada semua siswa. Mungkin telat jika setiap ajaran falsafah budaya pada setiap diri murid ini diberikan di tingkat universitas. Akan tetapi, juga tidak terlalu cepat diberikan di tingkat sekolah menengah atas. Kembali lagi kepada pemahaman sastra jawa dalam mengenal kehidupan dan manusia yang seperti ditulis oleh Ranggawarsita bahwa Hendaknyalah dapat sabar dan sentosa, mati selagi hidup, hindar dari perbuatan rusuh, angkara murka menyingkir, tidak lain (dengan) manunggalkan tekad, (dengan) selalu mensucikan hati, (sehingga) urunglah siksaan Tuhan, mendapat keringanan sekedarnya, berserah diri (memohon) surga yang berisi serba abadi. (Padmasusastra, 1931: 31). Calon guru harus memiliki arah yang jelas sebelum terjun ke dunia pendidikan, bukan hanya karena sudah lulus S1 langsung kerja sebagai guru akan tetapi menjadi guru adalah pekerjaan suci yang kadang dikotori oleh nafsu keduniawian seperti halnya uang. Guru memang belum sejahtera di Indonesia akan tetapi jika menengok kepada negara-negara dengan pendidikan yang baik maka kita bisa melihat bagaimana guru itu sejahtera dengan berbagai peran pemerintah dan peraturan yang jelas kepada guru.

Salah satu jalan yang bisa untuk mengatasi hal tersebut adalah dimana falsafah budaya harus dimiliki setiap calon guru untuk memperkuat diri sebagai guru. Kembalinya diri kepada falsafah kebudayaan bukan hanya akan mengubah cara pandang/prespektif setiap kehidupan akan tetapi akan memperjelas niat, hati, dan menyingkirkan segala keburukan di dalam diri sebelum menjadi seorang guru. Mungkin ini sedikit refleksi kepada calon guru.

Daftar Pustaka
  • Kamajaya. 1991. Lima Karya Pujangga Ranggawarsita, Kalatidha, Sabdajati, Sabdatama, Jaka Lodhang, Wedharaga. Jakarta : Balai Pustaka
  • “Raden Ngabehi Ranggawarsita,” http:/salihara.org kalam/back-issues detail/raden-ngabehi-ranggawarsita. Diunduh 25 November 2021

0 Komentar

Posting Komentar

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama