Visualisasi Nilai Pendidikan Karakter pada Relief Cerita Hewan

Penulis: Ika Dewi Retnosari

Abstrak
Penelitian ini bertujuan menganalisa relevansi nilai-nilai yang terkandung dalam relief cerita hewan pada Candi Sojiwan dengan pendidikan karakter masa kini. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif dengan metode deskriptif fenomenologis. Dari hasil penelitian dapat diketahui bahwa cerita hewan dipilih karena cerita hewan adalah cerita yang sangat digemari oleh semua kalangan dan dikenal di berbagai tempat. Hewan dilihat sebagai proyeksi tingkah laku dan sifat manusia sehingga sifat humor dalam cerita hewan menimbulkan niat untuk mengintrospeksi dan meretrospeksi tindakannya. Relief cerita hewan di Candi Sojiwan sebagai salah satu hasil kebudayaan Indonesia mengandung ajaran-ajaran budi pekerti yang masih sangat relevan dengan pendidikan karakter bagi generasi muda pada masa kini. Saran dari penelitian ini, bahwa sekolah dan kalangan pendidik perlu menyusun program pengembangan pendidikan dan pengajaran yang berakar dari budaya lokal. Juga diperlukan kepedulian keluarga dan masyarakat untuk terlibat dalam pendidikan karakter bagi generasi muda, melalui pembiasaan perilaku berbudi.
Kata Kunci : Candi Sojiwan, Cerita hewan, Pendidikan Karakter.

Pendahuluan

Pasal 3 UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, menyebutkan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggungjawab (UU RI No 20/2003, 2003: 4). Muatan struktur materi pelajaran dalam Kurikulum 2013 terdiri dari sikap, pengetahuan, dan keterampilan. Di samping itu muncul istilah Kompetensi Inti 1 (KI-1) dan Kompetensi Inti 2 (KI-2) yang mengutamakan nilainilai agama dan nilai-nilai sosial. Maka dewasa ini pendidikan karakter mendapat perhatian cukup besar, dan mendapat dukungan luas dari masyarakat karena banyak unsur positif yang dapat dipetik. Melalui pendidikan karakter, diharapkan akan terbentuk pribadi-pribadi yang lebih utuh dan dewasa.

Hampir semua pendidik dan orang tua setuju bahwa pendidikan karakter merupakan bagian penting dalam sebuah proses pendidikan. Jika kita melihat situasi sosial masyarakat kita saat ini, seperti maraknya perkelahian antar pelajar dan mahasiswa, perilaku yang tidak jujur yang tercermin dalam tindakan korupsi, pemanfaatan jabatan, budaya menyontek, ketidakdewasaan pribadi seperti tercermin dalam penyalahgunaan obat-obatan, penyimpangan perilaku seksual di kalangan remaja, bahkan akhir-akhir ini kita mendengar banyak berita tentang tindak kekerasan yang dilakukan oleh para pelajar baik di jalanan maupun di sekolah seperti memalak teman, menghina teman, mengambil barang teman dengan paksa, melukai teman secara fisik dan sebagainya, maka berbicara tentang pendidikan karakter menjadi hal yang sangat diperlukan.

Pendidikan yang sekarang ini diterapkan di banyak sekolah di Indonesia lebih menekankan pada aspek penguasaan ilmu pengetahuan dan mengadopsi sistem pendidikan luar, hal ini dapat mengakibatkan bangsa Indonesia kehilangan identitas nasionalnya.
Pendidikan yang berorientasi pada budaya bangsa merupakan hal yang mutlak diperlukan sebagai salah satu upaya mempertahankan identitas bangsa. Hills menandaskan bahwa pendidikan nilai harus mampu membuat peserta didik menguasai pengetahuan yang berakar pada nilai-nilai tradisional yang mampu menolongnya menghadapi nilai-nilai modern, berempati dengan persepsi dan perasaan orang-orang yang tradisional, mengembangkan keterampilan kritis dan menghargai nilai-nilai tersebut (dalam Adisusilo, 2012: 71).

Indonesia memiliki kekayaan budaya yang dapat dijadikan sarana pengembangan nilai-nilai budi pekerti bagi generasi muda. Salah satunya adalah cerita-cerita yang termuat dalam relief candi. Dengan demikian kajian tentang nilai-nilai filosofi moral pada Candi Sojiwan menjadi sangat penting dan relevan untuk dimanfaatkan sebagai sarana pengembangan pendidikan karakter.

Candi Sojiwan berlokasi di desa Kebondalem Kidul, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Klaten, Propinsi Jawa Tengah. Letak astronomi 110̊30̍11̎ BT dan 07̊30̍32̎ LS dengan ketinggian 142,781 meter di atas permukaan laut. Letaknya 2 km ke arah selatan dari Kompleks Candi Prambanan. Candi ini merupakan candi Buddha yang di sekitarnya terdapat candi-candi Hindu. Pada kaki candi induk seharusnya terdapat 19 panel relief, tetapi hanya tertinggal 16 panel yang masih dapat dimengerti ceritanya, dan 12 panel diantaranya berisi cerita hewan.

Landasan berpikir penelitian ini adalah konsep kebudayaan, bahwa kebudayaan merupakan keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia untuk memenuhi kehidupannya. Menurut Koentjoroningrat, wujud kebudayaan ada tiga macam yaitu : pertama, wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan dan sebagainya; kedua, wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dan masyarakat; ketiga, wujud kebudayaan sebagai benda-benda hasil karya manusia (Koentjoroningrat, 1981: 186). Relief cerita hewan di Candi Sojiwan merupakan sebuah hasil kebudayaan yang sengaja diciptakan oleh masyarakat dengan tujuan tertentu. Di dalamnya termuat gagasan-gagasan tentang ajaran budi pekerti yang dianut oleh masyarakat pada masa itu. Tetapi nilai-nilai budi pekerti itupun masih relevan dengan pendidikan di masa kini.

Visualisasi tentang moralitas yang ada di dalam relief cerita hewan pada candi menunjukkan bahwa cerita ini dikarang oleh orang yang mengetahui pandangan hidup masyarakat pada masa itu, dan juga mampu mengevaluasi kondisi masyarakatnya. Selain itu pemilihan dan penentuan cara tersebut menunjukkan kepandaian dan kebijaksanaan pengarangnya, sehingga amanat yang tinggi dapat disampaikan dalam bentuk yang populer dan menarik tanpa mengurangi bobot amanat dan tujuan yang akan dicapai. Terdapat ajaran tentang nilai-nilai filosofi kehidupan dalam cerita hewan yang dipahatkan pada relief candi Sojiwan. Nilai-nilai filosofi kehidupan tersebut mengalami proses pewarisan budaya dari satu generasi ke generasi berikutnya melalui proses enkulturasi, yaitu proses ketika individu memilih nilai-nilai yang dianggap baik dan pantas untuk hidup bermasyarakat sehingga dapat dipakai sebagai pedoman bertindak.

Landasan Teori yang dipergunakan adalah teori interaksionisme simbolik. Dalam kajian ini, teori interaksionisme simbolis dipakai untuk menjelaskan tentang penggunaan simbol-simbol yang memiliki nilai dan makna sebagai acuan perilaku yang diharapkan dalam tatanan masyarakat. Seperti dikemukakan oleh Wallendrof dan Reilly bahwa budaya adalah seperangkat pola perilaku yang secara sosial dialirkan secara simbolis melalui bahasa dan cara-cara lain pada anggota dari masyarakat tertentu (http://www.imadiklus. com/2012/04/kajian-antropologi-teknologi-pendidikan kasus-trans-misi-budaya-belajar.html).

Relief cerita hewan merupakan simbol komunikasi yang berisi penyampaian pesan nilai keagamaan, pedoman hidup, dan nilai kehidupan. Cerita dalam bentuk gambar digunakan sebagai simbol untuk menyampaikan nilai-nilai baik dan buruk yang diwujudkan dalam perilaku. Pemaknaan simbol-simbol dalam gambar relief cerita hewan dilakukan melalui proses berpikir yang luas dan kompleks, sehingga akan dipahami nilai-nilai dari ajaran yang disampaikan melalui cerita tersebut. Simbol-simbol ini digunakan untuk menjelaskan adanya interaksi antar individu, di mana nilai-nilai yang telah disepakati secara tidak langsung tersebut kemudian diaktualkan dalam bentuk perilaku sosial manusia.

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis relevansi nilai-nilai yang terkandung dalam relief cerita hewan pada Candi Sojiwan dengan pendidikan karakter masa kini. Untuk itu beberapa permasalahan yang akan dibahas adalah : (1) Mengapa cerita mhewan dipilih sebagai media penyampaian ajaran moral?; (2) Nilai-nilai karekter apa saja yang termuat dalam relief cerita hewan Candi Sojiwan?; (3) Apakah nilai-nilai yang terkandung dalam relief cerita masih relevan untuk diterapkan dalam pendidikan karakter pada masa kini?

Metode Penelitian
 
Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Pendekatan ini dipilih, sebab penelitian ini mengkaji perilaku masyarakat.
Penelitian jenis kualitatif tidak hanya menetapkan penelitian berdasarkan variabel penelitian, tetapi keseluruhan situasi sosial yang meliputi aspek tempat, pelaku, dan aktivitas yang berinteraksi secara sinergis (Sugiyono, 2008: 207). Metode yang digunakan adalah metode deskriptif fenomenologis, karena penelitian ini tidak bermaksud menguji hipotesis tetapi berusaha menelusuri, memahami, dan menjelaskan fokus penelitian. Adapun fokus penelitian ini adalah relevansi nilai-nilai pendidikan budi pekerti yang terkandung pada relief cerita hewan Candi Sojiwan dengan pendidikan karakter pada masa kini.

Data primer dari penelitian ini adalah artefak berupa relief cerita Candi Sojiwan, dan data sekundernya adalah kajian dari para ahli tentang cerita hewan pada Candi Sojiwan. Teknik pengumpulan data yang dilakukan adalah teknik observasi dengan melakukan pengamatan pada semua relief Candi Sojiwan, dan teknik kepustakaan dengan menggunakan sumber pustaka yang mengkaji objek penelitian. Teknik pengujian objektivitas data menggunakan keajegan pengamatan dan kecukupan referensial. Sedangkan untuk teknik analisis data digunakan model interaktif analisa data yang meliputi reduksi data, sajian data dan verifikasi.

Hasil Penelitian dan Pembahasan
 
Fungsi Cerita Hewan sebagai Media Penyampaian Ajaran Moral

Menurut Maria Lech, yang dimaksud cerita hewan adalah cerita yang pelakunya terdiri dari hewan. Hewan ini bertingkah laku, berpikir, bertindak dan berperasaan seperti manusia. Dalam ceritapun, mereka membentuk masyarakat, mengaturnya, dan di antara mereka itupun ada yang berlaku sebagai pemimpinnya. Persoalan yang diceritakan juga persoalan yang hidup pada masyarakat manusia sehingga pendengar cerita juga merasakan seakan-akan cerita itupun dunianya juga (Dipodjoyo, 1983: 14).

Dalam cerita hewan, akan dapat dilihat proyeksi tingkah laku dan sifat manusia. Penggambaran tersebut adakalanya dalam bentuk sindiran sepintas lalu, tetapi adakalanya digambarkan secara jelas dan menggelikan tetapi dengan cara yang halus, sehingga menjadi tujuannya akan mengena pada sasaran tanpa membuat seseorang merasa dituduh atau dicela. Itulah yang menyebabkan cerita hewan amat digemari oleh masyarakat manapun, baik masyarakat maju maupun yang masih terbelakang. Juga masyarakat dari berbagai tingkatan sosial dan usia. Sifat humor dalam cerita hewan menimbulkan keakraban di antara pendengar tanpa ada yang terlukai hatinya. Tidak jauh dari peribahasa Jawa
“Janma limpad seprapat wae wis tamat”, dalam banyak hal orang tidak menyukai sesuatu yang langsung mengenai persoalannya. Masyarakat kita lebih menyukai pemberian pelajaran dengan mengambil bentuk kias, ibarat atau sindiran saja. Hooykas menyebut bentuk semacam itu lebih dikenal dengan “bentuk-bentuk yang diselubungi” (Dipodjojo, 1985: 28).

Cerita hewan menjadi cerita yang sangat digemari karena hewan adalah mahluk yang hidupnya hampir menyerupai hidup manusia, bergerombol, berpasangan dan beranak pinak serta membentuk suatu masyarakat. Hewan dianggap berperilaku sama seperti manusia dengan berbagai karakter. Pada awalnya banyak orang beranggapan bahwa cerita
hewan dan cerita lainnya hanya merupakan cerita pengisi waktu atau pengantar tidur, tetapi sebenarnya jika ditinjau lebih mendalam ternyata cerita-cerita itu lebih jauh dari anggapan tersebut, yaitu bertujuan memberi pelajaran akhlak atau budi pekerti.

Moralisasi itu diperankan oleh hewan-hewan yang diberi jiwa, pandai berbicara dan bertingkah laku seperti manusia, dengan harapan agar para pendengar cerita itu memetik pelajaran yang tersembunyi dalam cerita itu. Sifat humor dalam cerita hewan menimbulkanniat orang untuk mengintropeksi dan meretropeksi semua tindakannya. Penyampaian amanat yang tidak menekan dalam bentuk sindiran dan seolah-olah hanya sambil lalu memberi pendidikan yang menimbulkan daya kritik pada anggota masyarakat terhadap kepincangan-kepincangan yang terjadi pada situasi pada waktu itu.

Dari berbagai tema yang ada dalam relief cerita, cerita hewan dipilih karena cerita ini banyak dikenal oleh masyarakat dari anak-anak sampai orang tua sebagai cerita lisan yang diwariskan turun temurun. Peran seniman dalam mengekspresikan karyanya untuk menyampaikan pesan tersebut sangat penting, berkaitan dengan adanya unsur-unsur persamaan kebudayaan yang dianut oleh seniman maupun masyarakat sendiri. Hal tersebut akan mempermudah bagi masyarakat untuk memahami pesan yang disampaikan melalui karya relief tersebut. Relief cerita hewan pada candi Sojiwan merupakan salah satu hasil kebudayaan lokal yang mengandung nilai-nilai budi pekerti yang diajarkan kepada masyarakat pada masa lalu. Cerita yang dipahatkan merupakan cerita keagamaan Buddha dengan tokoh manusia, hewan, atau hewan dan manusia, serta isinya bersifat pendidikan atau petuah yang harus diteladani (Munandar, 2012: 60).

Nilai-nilai Pendidikan Karakter dalam Relief Cerita Hewan Candi Sojiwan
Istilah pendidikan budi pekerti dalam kurikulum pendidikan sekarang sering disamakan dengan pendidikan karakter. Dalam program Kementerian Pendidikan Nasional 2010-2014, yang dituangkan dalam Rencana Aksi Nasional Pendidikan Karakter: pendidikan karakter disebutkan sebagai pendidikan nilai, pendidikan budi pekerti, pendidikan moral, pendidikan watak yang bertujuan mengembangkan kemampuan peserta didik untuk memberikan keputusan baik-buruk, memelihara apa yang baik & mewujudkan kebaikan itu dalam kehidupan sehari-hari dengan sepenuh hati (Kemendiknas, 2010:__). Atas dasar itu, pendidikan karakter bukan sekedar mengajarkan mana yang benar dan mana yang salah, lebih dari itu, pendidikan karakter menanamkan kebiasaan (habituation) tentang hal mana yang baik sehingga peserta didik menjadi paham (kognitif) tentang mana yang benar dan salah, mampu merasakan (afektif) nilai yang baik dan biasa melakukannya (psikomotor). Dengan kata lain, pendidikan karakter yang baik harus melibatkan bukan saja aspek “pengetahuan yang baik (moral knowing), akan tetapi juga “merasakan dengan baik atau loving good (moral feeling), dan perilaku yang baik (moral action). Pendidikan karakter menekankan pada kebiasaan yang terus-menerus dipraktikkan dan dilakukan.

Relief cerita hewan candi Sojiwan yang dijelaskan dalam buku The Tantri Reliefs On Ancient Javanese Candi karya Marijke Klokke, mengandung nilai-nilai budi pekerti yang merupakan visualisasi dari 3 matra pendidikan karakter yang menjadi dasar bagi pengembangan pendidikan karakter utuh dan menyeluruh pada masa kini. Pengelompokan nilai-nilai tersebut adalah :

A. Pengelompokan Nilai dalam Matra Invidual
Nilai penghargaan terhadap tubuh, nilai ini termuat dalam panel relief ke-11 yang menggambarkan burung berkepala dua yang tidak mau membagi makanan yang enak dengan kepala yang lain, maka kepala yang lain memakan makanan beracun sehingga matilah burung tersebut. Cerita ini menggambarkan bahwa menjaga kesehatan tubuh dengan memberikan asupan yang baik bagi jasmani sangat diperlukan untuk menjaga kelangsungan hidup. Penghargaan terhadap tubuh termasuk di dalamnya kesediaan kemampuan individu menjaga kesehatan jasmani setiap individu. Kesehatan jasmani merupakan salah satu bagian penting bagi pembentukan keutamaan. Pendidikan karakter mesti memprioritaskan tentang bagaimana individu dapat menjaga tubuhnya satu sama lain. Juga mengajarkan agar individu tidak merusaknya, tetapi membuat keberadaan tubuh, tumbuh sehat sesuai dengan perkembangan dan pertumbuhan kodratnya. Penghargaan terhadap tubuh merupakan ekspresi diri individu untuk menjadi perawat dan pelindung satu sama lain. Individu mesti menumbuhkan dalam dirinya sendiri keinginan untuk merawat dirinya dan orang lain, termasuk pertumbuhan psikologis dan emosionalnya.

Nilai transendental (religiositas dan estetika), pengembangan nilai transendental, baik religious, keagamaan, maupun sublime (seperti kepekaan seni, apresiasi karyakarya manusia yang membangkitkan refleksi serta kemampuan memahami kebesaran Illahi) merupakan dasar bagi pengembangan pembentukan karakter.
Setiap individu dianugerahi kepekaan akan sesuatu yang lembut, halus, yang bekerja secara rohani mendampingi manusia, kepekaan akan sesuatu yang adikodrati. Kepekaan alam yang Kudus, yang Transenden, yang baik, yang indah, baik dalam diri manusia maupun di alam, merupakan salah satu sarana untuk membentuk individu menjadi pribadi berkeutamaan. Nilai religiositas tergambar dalam panel relief ke-8 dan ke-9. Relief ini menggambarkan tokoh perempuan dan serigala yang tidak mensyukuri yang telah dimilikinya, tidaklah patut dicontoh. Bahwa rasa syukur terhadap apa yang sudah dimiliki dan bersikap tidak serakah atau ingin memiliki segala sesuatu secara berlebihan adalah salah satu wujud dari kemampuan memahami kebesaran Illahi. Karena dengan rasa syukur itulah, manusia tidak akan dibutakan oleh ambisinya dan bersikap lebih sabar dalam menghadapi keadaan apapun.

Keunggulan akademik, nilai ini tergambarkan pada beberapa panel yaitu panel relief ke-3 yang menggambarkan kecerdikan kura-kura untuk mengalahkan garuda sehingga akhirnya terlepas dari ancaman garuda. Pada panel relief ke-4, kera yang sudah terjebak oleh tipuan buaya akhirnya berhasil melepaskan diri dari bahaya yang mengancamnya setelah dengan cerdiknya dia dapat mengelabui buaya. Dari cerita kedua relief tersebut dapat diambil makna bahwa setiap manusia harus mampu menggunakan akal pikiran, kecerdasan dan kecerdikannya untuk menghadapi berbagai macam tantangan. Dengan kecerdasan dan kecerdikannya inilah, manusia akan mampu mengatasi berbagai ancaman yang membahayakan bagi dirinya, dan juga mampu menyelesaikan berbagai permasalahan yang dihadapinya.

Keunggulan akademik adalah tujuan dasar sebuah lembaga pendidikan. Keunggulan akademik berbeda dengan sekedar lulus ujian. Keunggulan akademik mencakup di dalamnya sikap-sikap, cinta akan ilmu, kemampuan berpikir kritis, teguh pada pendirian, serta mau mengubah pendirian berdasarkan pertimbangan dan argumentasi yang matang, memiliki keterbukaan akan pemikiran orang lain, berani terus menerus melakukan evaluasi dan kritik diri, terampil mengkomunikasikan gagasan, pemikiran, mengembangkan rasa penasaran intelektual. Dari kecintaan akan ilmu itu, akan tumbuh inovasi, kreasi dan pembaharuan dalam bidang keilmuan.
Penguasaan diri, nilai ini tergambar dalam panel relief ke 2, menggambarkan kurakura yang tidak teguh memegang peraturan yang telah disepakati dan tidak mampu menahan diri karena mendengar cemoohan dari orang lain, akhirnya mendapatkan nasib yang buruk. Pada panel ke-5 digambarkan tentang terpisahnya persaudaraan antara 2 sahabat yaitu banteng dan singa. Keduanya tidak mampu mengendalikan emosinya dan tidak mempercayai sahabatnya, sehingga akhirnya mereka berkelahi dan mati karena termakan oleh hasutan serigala. Sedangkan pada panel relief ke-6 digambarkan tentang gajah yang mendapat balasan dari mahluk lain yang telah diperlakukannya dengan sewenang-wenang. Dari ketiga cerita tersebut dapat diambil ajaran pendidikannya bahwa manusia harus dapat menguasai emosinya, dan mengendalikan diri serta tidak boleh berlaku sewenang-wenang terhadap mahluk lain. Nilai penguasaan diri merupakan kemampuan individu untuk menguasai emosi dan perasaannya, serta mau mengarahkan seluruh dorongan emosi pada tujuan yang benar, selaras dengan panduan akal budi. Penguasaan diri termasuk di dalamnya sikap-sikap, kesediaan mengolah emosi dan perasaan, mau menempatkan kecondongan rasa perasaan sesuai dengan konteks dan tujuan yang tepat. Penguasaan diri termasuk di dalamnya kemampuan individu dalam menempatkan diri, bertindak, dan berkata-kata secara bijak dalam ruang dan waktu yang tertentu.

Keberanian, nilai ini tergambar dalam panel relief ke 3, 4, 6, 7, 9, dan 10. Dalam panel-panel ini diceritakan tentang tokoh-tokoh cerita yang memiliki keberanian untuk melakukan hal yang baik meskipun kedudukan mereka lebih lemah dibandingkan tokoh yang mereka lawan. Cerita relief-relief ini menjelaskan bahwa manusia harus memiliki keberanian dan berjuang gigih untuk menegakkan citacitanya. Keberanian merupakan keutamaan yang memungkinkan individu mampu melakukan sesuatu dan merealisasi apa yang dicita-citakannya. Keberanian

termasuk di dalamnya kesediaan untuk berkorban demi nilai-nilai yang menjadi prinsip hidupnya, tahan banting, gigih, kerja keras, karena individu tersebut memiliki cita-cita luhur yang ingin dicapai dalam hidupnya. Keberanian merupakan dorongan yang memungkinkan individu mewujud nyatakan. Keberanian juga mencerminkan sikap membela terhadap mahluk lain yang lemah atau sedang menghadapi kesulitan. Cinta kebenaran merupakan dasar pembentukan karakter yang baik. Manusia merindukan kebenaran. Dengan akal budinya, manusia berusaha mencari, menemukan dan melaksanakan apa yang diyakini sebagai kebenaran. 
 
Prinsip
 
Berpegang teguh pada kebenaran mesti diterapkan bagi praksis individu ataupun dalam kehidupan bersama. Cinta akan kebenaran yang sejati memungkinkan seseorang berani mengorbankan dirinya sendiri demi kebenaran yang diyakininya. Keteguhan nilai-nilai akan kebenaran menentukan identitas manusia sebagai pribadi berkarakter. Nilai ini tergambar dalam panel relief ke-10, yang menggambarkan tentang ketam yang menyelamatkan Brahmana yang sebelumya telah menyelamatkan hidupnya. Keberanian sang Ketam dalam melindungi sang Brahmana menunjukkan bahwa ketam memegang teguh nilai-nilai kebenaran, budi baik harus dibalas dengan budi baik pula.

Terampil (kompeten), nilai ini digambarkan pada panel relief ke- 13, tentang kambing yang meminta bantuan pada gajah untuk mengantar kembali ke kelompoknya. Kemampuan kambing untuk membujuk sang Gajah, membuat gajah bersedia membantu kambing. Kisah ini menggambarkan keterampilan seseorang untuk berkomunikasi dan meyakinkan orang lain untuk melakukan sesuatu yang diinginkannya. Pada panel ke-15 digambarkan tentang contoh sikap yang tidak layak untuk ditiru, yaitu sikap serigala jantan yang hanya menunggu dan tidak mau berusaha keras untuk mewujudkan apa yang diinginkannya. Dalam konteks kedua cerita ini, memiliki berbagai macam kompetensi dan keterampilan yang dibutuhkan, baik bagi perkembangan individu maupun dalam kerangka pengembangan professional, merupakan syarat utama pengembangan pendidikan karakter yang utuh. Memiliki kemampuan dasar berkomunikasi, baik secara lisan maupun tulisan, kompeten dalam bidang yang digeluti merupakan dasar bagi keberhasilan hidup di dalam masyarakat. Melalui kompetensinya ini seorang individu mampu meraih cita-citanya.

B. Pengelompokan Nilai dalam Matra Sosial
Demokratis, pada panel relief ke-3 ditunjukkan adanya semangat demokrasi dari para tetua kura-kura untuk mengambil keputusan demi kepentingan bersama, dan keikutsertaan seluruh anggota kelompok untuk ikut mendukung terwujudnya hasil keputusan tersebut dengan kesediaan mereka bekerjasama mengalahkan sang
Garuda. Pada masa sekarang sikap demokratis ini harus dimunculkan dengan adanya kesadaran bahwa masyarakat global hidup dalam kebersamaan dengan orang lain, saling membutuhkan satu sama lain. Masyarakat tidak dapat hidup secara tertutup sebab keterhubungan satu sama lain itu merupakan kondisi faktual manusia. Oleh karena itu, setiap individu mesti belajar bagaimana hidup bersama, mengatur tatanan kehidupan secara bersama sehingga inspriasi dan aspirasi individu dapat tercapai. Demokrasi mengandaikan bahwa individu memiliki otonomi dalam kebersamaan. Demokrasi termasuk di dalamnya pengembangan dan penumbuhan semangat kebangsaan.

Menghargai perbedaan, panel relief ke-2 dan ke-13 menggambarkan tentang persahabatan dua jenis hewan yang berbeda jenis, yaitu Kura-kura dan Angsa, serta Kambing dan Gajah. Keduanya menunjukkan sikap saling menghargai dan membantu temannya yang sedang menghadapi kesulitan. Dalam hal ini yang perlu disadari oleh siapapun bahwa perbedaan adalah kodrat manusia. Menghargai perbedaan merupakan sikap mendasar yang mesti ditumbuhkan dalam diri individu.

Terlebih dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia, menghargai perbedaan mesti ditumbuhkan dalam diri setiap individu. Negara kita berdiri karena para pendiri bangsa ini menghargai perbedaan. Dalam perbedaan itu, mereka ingin mempersatukan kekuatan dan tenaga dalam membangun bangsa.
Tanggung jawab merupakan unsur penting bagi pengembangan pendidikan karakter karena terkait dengan ekspresi kebebasan manusia terhadap dirinya sendiri dan orang lain. Tanggung jawab ini memiliki tiga dimensi : tanggung jawab kepada (relasi antar individu dengan orang lain), tanggung jawab bagi (hubungan individu dengan dirinya sendiri), serta tanggung jawab terhadap (hubungan individu terkait dengan tugas dan tanggung jawabnya di dalam masyarakat). Dalam panel ke-2, 3, 5, 8, 10, 11, dan 15. Panel ke-2 dan 3, menjelaskan bahwa seseorang harus bertanggungjawab terhadap segala aturan dan keputusan yang telah disepakati. Kura-kura yang tidak patuh pada peraturan, akhirnya harus menerima akibat buruknya. Sedangkan garuda yang berhasil dikalahkan oleh kura-kura bersedia mematuhi aturan yang telah disepakati. Pada panel ke-5 dan ke-11 digambarkan tentang serigala dan burung yang mati karena keserakahannya. Cerita ini menggambarkan bahwa manusia harus selalu berhati-hati dalam berbicara, bersikap dan bertingkahlaku, karena semua bentuk perbuatan harus dapat dipertanggung jawabkan. Panel ke-8 menggambarkan tentang perempuan yang mendapat musibah karena tidak mampu menjaga kepercayaan dan kekayaan suaminya, sedangkan panel ke-15 menggambarkan tentang serigala jantan yang berusaha melakukan tugasnya sebagai suami yang bertanggung jawab untuk memenuhi keinginan istrinya, meskipun cara yang dilakukannya tidak layak untuk dijadikan contoh karena tidak menunjukkan adanya usaha yang keras. Panel ke-10 menggambarkan sikap berani ketam yang merasa bertanggungjawab untuk membalas budi terhadap keselamatan Brahmana yang telah menolongnya.

Keadilan, bersikap adil dan mau memperjuangkan keadilan adalah sikap dasar pribadi yang memiliki karakter. Keadilan penting untuk diperjuangkan karena manusia memiliki kecenderungan untuk antisosial. Untuk itulah, diperlukan komitmen bersama agar masing-masing individu dihargai. Panel ke-3 dan ke-6 menggambarkan bagaimana seseorang harus berlaku adil terhadap orang lain, garuda dan gajah menjadi sosok yang berlaku sewenang-wenang terhadap mahluk lain yaitu kura-kura dan binatang-binatang kecil di dalam hutan. Bahwa seharusnya garuda dan gajah juga harus berlaku adil karena mahluk-mahluk hidup yang lain juga memiliki hak untuk mempertahankan kehidupannya. Demikian juga dengan kura-kura dan hewan-hewan lain yang berani melawan garuda dan gajah untuk menegakkan keadilan demi mendapatkan haknya. Dalam konteks hidup bersama, keadilan menjadi jiwa bagi sebuah tatanan masyarakat yang sehat, manusiawi dan bermartabat. Tanpa keadilan, banyak hak-hak orang lain dilanggar.

C. Pengelompokan Nilai dalam Matra Moral
Integritas moral, semua panel relief cerita hewan pada candi Sojiwan menunjukkan adanya integritas moral. Contoh yang baik menjadi perilaku moral yang dapat ditiru sedangkan perilaku yang buruk menjadi contoh untuk tidak ditiru dan tidak dilakukan. Intregitas moral merupakan sasaran utama pembentukan individu dalam pendidikan karakter.

Integritas moral menjadikan masing-masing individu dalam masyarakat plural mampu bekerja sama memperjuangkan dan merealisasikan apa yang baik, yang luhur, adil dan bermartabat bagi manusia, apapun perbedaan keyakinan yang mereka miliki. Integritas moral memberikan penghargaan utama terhadap kehidupan, harkat dan martabat manusia sebagai makhluk ciptaan yang bernilai dan berharga, apapun keadaan dan kondisinya. Kehadiran individu yang memiliki integritas moral menjadi dasar bagi konstruksi sebuah tatanan masyarakat beradab. Integritas moral muncul jika individu mampu mengambil keputusan melalui proses pertimbangan rasional yang benar, dan melaksanakannya dalam tindakan secara bijak, sesuai dengan konteks ruang dan waktu tertentu. Integritas moral termasuk di dalamnya kemampuan individu untuk membuat kebijakan praktis yang bermakna bagi hidupnya sendiri dan orang lain.

3. Makna Relief Cerita Hewan pada Candi Sojiwan sebagai Media Pendidikan Karakter
Dengan kajian interaksi simbolik dapat diketahui bahwa relief cerita hewan pada candi Sojiwan merupakan hasil kebudayaan yang di dalamnya memuat ide-ide seniman berkaitan dengan dogma dan nilai-nilai keagamaan, pedoman hidup, cinta kasih, pendidikan dan sebagainya yang pada intinya menyampaikan pesan kepada siapa saja yang menyimak dan memperhatikan makna yang dimuat dalam karya seni tersebut. Seniman yang membuat relief cerita hewan adalah komunikator yang tugasnya menuangkan pesan melalui simbolsimbol perilaku tokoh cerita dalam karya seninya, sedangkan masyarakat bertindak sebagai komunikan yang diharapkan dapat menangkap pesan yang disampaikan oleh seniman tersebut. Peran seniman dalam mengekspresikan karyanya untuk menyampaikan pesan sangat penting, unsur-unsur kebudayaan yang dianut oleh seniman dan masyarakat harus memiliki persamaan sehingga akan mempermudah masyarakat untuk memahami pesan yang disampaikan melalui karya relief itu. Agar segala ajaran baik tentang kecerdikan, tingkah laku dan nasihat-nasihat mudah diserap oleh masyarakat maka dipahatkanlah cerita itu pada dinding-dinding candi sebagai tempat ibadat.

Pesan-pesan pada relief cerita mengandung pendidikan budi pekerti bagi masyarakat pada masa itu. Simbol-simbol yang dipakai pada relief cerita mempunyai hubungan yang erat dengan unsur-unsur yang ada dalam masyarakat, baik unsur yang ada dan hidup dimasa lampau maupun yang ada dan hidup di masa kini. Dari berbagai tema yang ada dalam relief cerita, cerita hewan dipilih karena cerita ini banyak dikenal oleh masyarakat dari anak-anak sampai orang tua sebagai cerita lisan yang diwariskan turun temurun. Sehingga ajaran budi pekerti yang terdapat dalam relief candipun bisa dipakai sebagai contoh dalam pendidikan karakter pada masa kini.

Nilai-nilai pendidikan karakter dalam relief cerita hewan pada candi Sojiwan yang disampaikan oleh pendidik diharapkan dapat mengembangkan seluruh dimensi pengolahan diri manusia secara integral, yaitu : olah pikir, olah rasa, olah hati, dan olah raga. Dalam olah pikir, peserta didik diajar untuk memahami nilai-nilai secara benar, sehingga peserta didik dapat mengetahui mengapa ia melakukan sebuah tindakan dan mengapa tindakan yang dilakukan dapat dibenarkan secara moral. Melalui olah rasa, peserta didik diajak untuk memahami kebesaran Illahi dan mengagumi segala ciptaanNya serta berbagai dimensi estetika yang dapat hadir dalam ekspresi manusia. Dalam olah hati, pemahaman yang benar perlu ditanamkan dalam diri peserta didik sampai pemahaman nilai-nilai tersebut benar-benar menjadi bagian dalam dirinya. Rasa cinta dan keterlibatan secara emosional yang mendalam memungkinkan tumbuhnya motivasi internal dalam melaksanakan nilai-nilai tersebut bertumbuh semakin kuat. Di samping itu merawat tubuh diri sendiri dan orang lain dalam olah raga, menjadi bagian penting dalam pengembangan pendidikan karakter. Karena olah raga bukan hanya sekedar sarana pembadanan atas nilai-nilai yang diyakini benar, melainkan lebih pada bagaimana manusia menghargai tubuh sebagai bagian utuh dan integral yang menjadi ciri khas kepribadiannya. Penghargaan atas tubuh menjadi tanda dihargainya harkat dan martabat manusia.

Relevansi nilai pendidikan karakter yang termuat dengan relief cerita hewan Candi Sojiwan secara ringkas dapat dilihat pada tabel berikut :


 
Simpulan
Nilai-nilai moral yang dimuat dalam relief cerita hewan pada candi Sojiwan menunjukkan tingginya nilai amanat yang terkandung dalam cerita hewan dan tujuan moralisasinya disampaikan dengan cara yang halus dan sistematik. Visualisasi nilai-nilai pendidikan karakter dalam relief cerita hewan pada Candi Sojiwan diharapkan akan dapat mengembangkan seluruh dimensi pengolahan diri manusia secara integral, yaitu : olah pikir, olah rasa, olah hati, dan olah raga. Nilai-nilai tersebut merupakan penggambaran nilai-nilai karakter yang harus dimiliki oleh generasi muda untuk menjadi pribadi yang memiliki karakter utuh dan menyeluruh.


Saran
Sekolah dan kalangan pendidik perlu menyusun program pengembangan pendidikan yang berakar dari budaya lokal dengan melakukan pembudayaan perilaku yang berbudi pekerti. Juga diperlukan kepedulian semua pihak, terutama keluarga dan masyarakat untuk terlibat dalam pendidikan karakter bagi generasi muda, melalui pembiasaan dalam kehidupan, seperti: religius, jujur, disiplin, toleran, tanggung-jawab dan sebagainya.
 

 


0 Komentar

Posting Komentar

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama